Rabu, 26 Mei 2010

Kasus Susno Duadji; Lakon Rahwana??

Beberapa bulan belakangan ini, kita disuguhkan dengan berbagai berita yang tersaji langsung di ruang publik bahkan tak jarang memasuki ruang-ruang pribadi kita. Misalnya kasus mafia pajak yang kemudian beralih menjadi kasus penangkapan Susno. Heran juga, kok pak Susno yang menyampaikan kasus mafia pajak dan ikan arwana kok malah "kesandung" menjadi salah satu tersangka. Saya jadi teringat kasus Endin ditahun 2000-an. Endin ketika itu juga membongkar mafia hukum yang menggerogoti sekujur tubuh lembaga penegakan hukum, ketika itu Endin juga di tangkap dan dijadikan tersangka dan divonis bersalah di Pengadilan dengan dakwaan melakukan pencemaran nama baik.

Sekarang, kasus "krimalisasi" whistle blower (peniup peluit) kembali berulang dengan modus dan cara yang sama. Jika Endin dijerat dengan dakwaan pencemaran nama baik, maka susno di jerat sebagai tersangka dengan dugaan ikut menerima uang suap Rp. 500 juta dalam kasus ikan arwana (yang terbaru Susno juga akan dijerat dengan Kasus Dana pengamanan PILKADA Jawa Barat, 2008). Sebagai polisi tentu saja, Susno berpotensi terlibat dalam praktik mafia hukum yang terjadi dalam kasus ini. Karena memang saat itu (sebelum non aktif) Susno adalah Kabareskrim Mabes polri. "potensi" ini yang digunakan oleh para "lawan" Susno untuk melakukan serangan balik terhadap beberapa kasus mafia hukum yang di buka oleh Susno dalam beberapa kesempatan. Jika menggunakan logika umum (artinya penegakan hukum berjalan normal-tanpa mafia) maka kasus Susno jadi tersangka menjadi hal yang biasa saja dan tidak akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan besar dari publik. Sayangnya, kasus ini mencuat ketika mafia hukum sangat berkuasa dalam proses hukum di Indonesia. Tak heran, tindakan Polri menjadikan Susno sebagai tersangka mendapat reaksi (perlawanan) dari publik. Apalagi kasus mafia hukum yang dibuka oleh Susno sepertinya jalan di tempat (jika tidak mau dikatakan diabaikan oleh Polri). Lihat saja, kasus Gayus (mafia pajak) para petinggi Polri dan Kejaksaan serta pihak lain yang terlibat belum tersentuh proses hukum. Para "jenderal" Polri yang diduga terlibat dalam mafia hukum kasus pajak ini, "hanya" diperiksa oleh badan internal Polri yang berkaitan dengan profesionalisme. Mestinya, jika Polri mau serius dan itu baik untuk perbaikan citra Polri yang sudah "hancur" di mata publik, maka "jenderal" Polri yang terlibat harus segera ditindak secara hukum melalui proses hukum yang cepat dan terbuka pada publik. Harapan agar Polri mendahulukan proses hukum para "jenderal" yang diduga terlibat inilah yang tidak dapat dipenuhi oleh Polri. Jika demikian, maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi: Pertama, Polri belum profesional dalam melakukan penegakan hukum. Kondisi ini karena diduga masih banyak kelompok atau orang-orang di internal Polri yang belum siap (mau) berubah. Kelompok ini, adalah orang-orang yang selama ini "menikmati" kenyamanan dalam lingkaran mafia hukum. Kedua, diduga ada sekelompok oknum yang merasa "tersinggung" dengan kasus mafia hukum yang di buka oleh Susno. Mafhum saja, kasus mafia hukum yang di buka oleh Susno menjadi "tamparan" yang sangat keras bagi Polri. Para petinggi Polri tidak bisa berkilah, karena yang membuka tabir "aib" tersebut adalah salah satu Jenderal aktif yang kebetulan juga mantan Kabareskrim Polri. Jika dugaan ini benar, maka cara yang paling mudah untuk "mempertahankan" diri dan "berkilah" adalah dengan melakukan serangan balik pada Susno melalui "kriminalisasi".

Jika ditilik lebih jauh, memang Susno sangat mudah untuk diserang balik, karena sebelumnya beliau adalah Kabareskrim, kemudian pernah menjadi salah satu tokoh sentral dalam dugaan "kriminalisasi" pimpinan KPK (Bibit-Chandra). Pertanyaannya, siapa sesungguhnya yang memerintahkan Susno untuk menjerat pimpinan KPK dalam kasus penyalahgunaan wewenang atau yang lebih dikenal dengan kasus "Cicak VS Buaya"? Secara institusional, tidak mungkin "Susno" ketika itu bekerja sendiri, apalagi bekerja atas kemauan sendiri. Logikanya, kasus Cicak-Buaya tentulah sebuah tindakan yang dilakukan oleh institusi Polri. Artinya semua pihak yang berwenang dalam tubuh Polri terlibat dan mengetahui kasus ini. Jika mau ditarik lebih jauh, maka para pihak diluar Polri pun pasti juga terlibat, misalnya kekuatan politik yang tidak "senang" dengan keberadaan dan tindakan yang dilakukan oleh KPK selama ini. Atau kelompok lain yang selama ini telah "menggunakan" Polri sebagai salah alat politik dalam Pemilu 2009. Kisah ini, menginggatkan saya pada cerita dunia pewayangan. Dalam dunia pewayangan, Rahwana seorang tokoh yang dijadikan "ikon" kejahatan ketika itu. Sebagai seorang yang "jahat" Rahwana telah melakukan pelbagai bentuk kedurjanaan dalam kehidupan. Kejahatan yang terbesar adalah ketika Rahwana menculik Dewi Sinta untuk dijadikan istrinya. Tentu saja penculikan ini mengundang reaksi dari seantero negeri, dengan dipimpin oleh Dewa Rama (suami Sinta) upaya melawan kejahatan Rahwana dilakukan secara massif. Semua pihak bergabung dengan Rama dengan satu tujuan "lawan" Rahwana. Ketika itu Rahwana juga tidak sendirian, dia dikelilingi oleh orang-orang yang setia padanya dan tentu saja sangat sakti mandraguna. Ketika pertarungan antara kebaikan (Dewa Rama) dan kejahatan (Rahwana) berlangsung, beberapa petinggi dan orang kepercayaan Rahwana berkhianat. Melihat situasi itu, Rahwana kemudian membuka semua kebobrokan kerajaannya pada publik. Ketika itu Rahwana hanya berpikir, minimal sebelum mati, dia bisa berbuat kebajikan. Apakah lakon ini yang sedang berlangsung dalam kasus Susno?? walluhalam.....

Rabu, 07 April 2010

Langkah-Langkah Menjadi "Gayus"

Terungkapnya kasus mafia Pajak beberapa waktu yang lalu, memberi sinyal pada kita bahwa, reformasi birokrasi yang sedang digulirkan belum lah memenuhi harapan. Dirjen Pajak sebagaii pilot project reformasi birokrasi, justru menjadi pintu pertama yang memberikan gambaran pada kita bahwa di Negara ini korupsi masih menjadi “sesuatu yang biasa”. Walaupun sudah ada KPK sejak trahun 2003 dan berbagai satgas yang dibentuk oleh Presiden SBY untuk memberantas korupsi, nyatanya korupsi malah menguak dari tempat yang selama ini di gadang-gadang menjadii contoh keberhasilan reformasi birokrasi, apalagi Departemen Keuangan dan jajarannya (termasuk Dirjen Pajak) selalu di klaim sebagai institusi yang menerapkan reward dan punishment, serta proses rekrutmen yang transparan dan pejabatnya diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas. Jika keberhasilan reformasi yang dimaksud adalah memberikan pelayanan yang baik, maka kita semua akan setuju. Tentu saja, bukan cuma pelayanan yang baik yang menjadi tujuan dari reformasi birokrasi.

Kasus Gayus hanyalah puncak gunung es korupsi di Dirjen Pajak dan Indonesia pada umumnya. Menilik kasus Gayus, sesungguhnya mafia pajak “wajar” saja terjadi atau sudah ada dari dulu, karena melihat skema atau alur pelaporan dan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak pada Dirjen Pajak, hampir disetiap tahapan rentan terjadinya penyimpangan.

Lihat saja, mulai dari Wajib Pajak menyampaikan laporan pajaknya kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang di tunjuk, peluang penyimpangan sangat besar terjadi. Penyimpangan itu (suap) bisa saja dari inisiatif Wajib Pajak (biasanya melalui konsultan pajak) atau dari Account Representatif (AR) di Kantor Pelayanan Pajak yang di tunjuk. Pada tahap ini, Wajib Pajak biasanya melakukan komunikasi yang intensif dengan Account Representatif. Komunikasi ini bisa melaluii email, telpon atau bertatap muka. Selama proses ini biasanya berpeluang terjadi penyimpangan (suap). Karena terjadinya suap, biasanya dilakukan oleh para pihak yang sudah “saling percaya”. Proses “saling percaya” ini biasanya terbangun karena adanya komunikasi yang intensif. Beberapa hasil riset memang memperlihatkan bahwa pada tahapan ini prilaku menyimpang (suap) sudah jarang terjadi, hal ini disebabkan karena adanya target penerimaan pajak yang dibebankan pada masing-masing Account Representatif. Jika target tersebut sudah terpenuhi maka, Account Representatif bisa saja melakukan kongkalikong dengan Wajib Pajak karena tidak ada sistem pengawasan yang melekat dari Dirjen Pajak. Setahu penulis, sistem pengawasan hanya menggunakan sistem rolling Account Representatif secara periodik (2 tahun). Namun, hasil pengamatan yang ada, sistem ini pun tidak jalan, masih banyak Account Representatif yang masih menangani Wajib pajak yang sama lebih dari 2 tahun.

Apabila Wajib Pajak tidak bisa ”membeli” Account Representatif, maka proses selanjutnya Wajib Pajak bisa menolak Laporan Pajak Pembetulan yang diterbitkan oleh Account Representatif untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan di bagian pemeriksaan. Pada proses ini dilakukan pemeriksaan baik materiil maupun formil. Pada prose pemeriksaan ini, Wajib pajak dan pemeriksa juga berpeluang melakukan tindakan menyimpang. Suap sangat berpotensi terjadi karena memang pada tahapan ini pun,tidak ada sistem pengawasan yang melekat pada aparatur Pajak yang melakukan pemeriksaan. Bahkan dalam beberapa kasus, tak jarang hasil penelitian yang dilakukan oleh Account Representatif tidak dijadikan rujukan dalam melakukan pemeriksaan.

Pada dua tahapan ini (Account Representatif dan Pemeriksaan), ada kecenderungan dari wajib Pajak untuk melakukan opsi menolak hasil penelitian dan pemeriksaan yang dilakukan. Dengan menolak hasil pemeriksaan, maka perkara perselisihan Pajak akan diserahkan pada Lembaga
Pengajuan Keberatan. Lembaga ini ada pada Kantor wilayah dan Kantor Pusat. Artinya jika Wajib pajak ”gagal” menyuap pada tingkat Kantor Pelayanan Pajak dimana Account Representatif dan Pemeriksa berada, maka Wajib pajak masih memiliki peluang melakakukan penyuapan pada tingkat kantor wilayah dan Pusat dimana Lembaga Pengajuan Keberatan tersebut bernaung. Pada lembaga ini lah Gayus H. Tambunan bekerja sebagai penelaah. Modus mafia pajak pada lembaga ini biasanya dimulai dari penelaahan yang tidak komprehensif, dalil, pasal dan data yang di buat sumir, tetapi hasil penelaahan tetap sesuai dengan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang dilakukan pada tahap sebelumnya di Kantor Pelayanan Pajak. Sembari melakukan penelaahan yang semu, aparatur pajak dan wajib pajak sudah melakukan komunikasi dengan hakim-hakim yang ada di Pengadilan Pajak. Komunikasi ini dilakukan dalam rangka menyusun majlis hakim yang akan menangani perkara perselisihan pajak yang sedang dilakukan penelaahan. Karena sudah bisa dipastikan, hasil dari Lembaga Pengajuan Keberatan Pajak akan di tolak oleh Wajib Pajak (yang sudah bekerjasama dengan Penelaah di Lembaga Pengajuan Keberatan, jangan heran biasanya aparatur pajak sendiri yang menyarankan agar menolak hasil pemeriksaan dan penelaahan), dengan demikian kasus perselisihan pajak tersebut sudah pasti akan masuk ke Pengadilan Pajak. Para penelaah biasanya sudah memiliki jaringan dengan majlis hakim dii Pengadilan Pajak yang bisa di suap. Sehingga tak heran, hampir laporan 80% perkara yang diajukan oleh Dirjen Pajak selalu mengalami kekalahan di Pengadilan Pajak.

Melihat alur perkara perselisihan pajak, maka hampir disetiap tahapan berpotensi terjadinya penyimpangan. Potensi ini terjadi karena lemahnya sistem pengawasan yang diterapkan oleh Dirjen Pajak kepada aparaturnya. Sementara di satu sisi aparatur pajak di beri renumerasi yang cukup besar jika dibandingkan dengan Pegawai Negeri Sipil lainnya. Mestinya, pemberian renumerasi haruslah di iringi dengan pembangunan sistem pengawasan yang baik, pembinaan pegawai secara terus menerus, serta melakukan integrasi sistem kerja perpajakan dengan sistem pengawasan internal, misalnya KPK, Kepolisian dan lain-lain. Selain itu, sudah saatnya di susun aturan dan kode etik yang diterapkan pada kantor Konsultan Pajak. Dan yang terpenting adalah semua proses tersebut mestinya memberi peluang dan ruang yang cukup untuk publik melakukan pengawasan. Jika tidak, maka mafia Pajak akan terus menggerogoti sekujur tubuh Dirjen Pajak. Jika tidak ada langkah-langkah yang serius dan terukur dalam perbaikan sistem pengawasan di Dirjen Pajak, jangan heran beberapa waktu yang lalu PERC Hongkong menetapkan Indonesia sebagai negara paling Korups di Asia. Dan status itu sudah pasti akan terus kita sandang jika tidak ada perbaikan yang signifikan.

Minggu, 04 April 2010

Duh!! Mudahnya Jadi Gayus

Sejak kasus makelar Pajak di buka pada publik oleh Susno Duadji (10/3/10), nama Gayus H. Tambunan terus menjadi pembicaraan. Pegawai Negeri Sipil Golongan IIIA pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini menjadi bahan pemberitaan di pelbagai media massa. Sebagai PNS golongan IIIA, Gayus pernah memiliki transaksi pada rekeningnya yang nilainya cukup fantastis untuk ukuran PNS golongan rendah. Apalagi, kasus ini juga “menyeret” beberapa nama Jenderal di Mabes Polri, Jaksa, Hakim dan Pengacara serta pengusaha. Kasus ini tentu saja menjadi anti klimaks dari upaya reformasi birokrasi yang digaungkan oleh pemerintah, dan Dirjen Pajak salah satu instansi yang diharapkan menjadi pilot project.

Mengurai kasus Gayus H. Tambunan, perlu kiranya kita melihat secara cermat sistem yang berlaku di Dirjen Pajak, ada beberapa celah yang berpotensi atau memberi peluang para pihak melakukan praktik menyimpang (Kolusi, Suap).

Sesuai ketentuan yang berlaku, setiap tahun Wajib Pajak (badan/pribadi) menyampaikan SPT pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dalam menyerahkan SPT, ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu Lebih Bayar (LB) dan Kurang Bayar (KB/Nihil). Proses selanjutnya, SPT Wajib Pajak (terutama yang kurang bayar/nihil) dilakukan klarifikasi oleh Account Representative (AR) dari Kantor Pelayanan Pajak. Pada proses ini AR akan melakukan penelitian data SPT yang disampaikan oleh wajib pajak. Penelitian ini dilakukan berdasarkan sumber data dari SPT dan sumber data ekternal yang berkaitan dengan usaha yang dijalankan oleh Wajib Pajak. Jika ditemukan perbedaan atau dugaan penyimpangan Pajak, maka AR melakukan himbauan, konseling melalui telpon, email atau tatap muka dengan wajib pajak. Diharapkan melalui proses ini, ada titik temu dari perbedaan data yang disampaikan oleh Wajib Pajak dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Account Representative, sehingga ada SPT pembetulan (penyesuaian). Jika SPT pembetulan di terima oleh Wajib Pajak maka Negara akan menerima setoran pajak sesuai dengan yang diharapkan. Selama proses ini, rentan terjadi praktik menyimpang (suap), pelaku yang patut diduga terlibat adalah wajib pajak, Account representative dan konsultan pajak. Praktik suap sangat mungkin terjadi karena tidak ada sistem pengawasan yang dilakukan selama proses ini. Cara terbaik adalah melakukan rotasi petugas Account Representative secara periodik. Karena praktik suap terjadi karena adanya rasa ”saling percaya” antara para pihak. Artinya jika Account Representative yang menangani/melayani wajib pajak dirotasi secara periodik, diharapkan akan memutus komunikasi yang intens antara para pihak (AR, WP dan Konsultan pajak), sehingga tidak ada proses saling percaya. Karena biasanya ”saling percaya” lahir dari komunikasi yang intens dan terus menerus.

Proses selanjutnya, apabila wajib pajak keberatan dengan hasil pembetulan oleh Account Reseptantive, maka wajib pajak bisa menolak hasil tersebut dan masuk pada tahap pemeriksaan. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Artinya dilakukan pemeriksaan formil (laporan keuangan, transaksi dll) dan materiil (peraturan perpajakan dan peraturan lain yang berlaku umum). Pada tahap ini, makelar kasus mulai bermain, tentu makelar ini bisa masuk karena ada jaringan dengan pelbagai pihak, baik Pemeriksa, konsultan pajak, Wajib pajak dan pihak lain yang terkait. Dalam banyak kasus, hasil pemeriksaan selalu di tolak oleh wajib pajak. Dengan penolakan hasil pemeriksaan, maka perkara perselisihan pajak akan dibawa pada proses selanjutnya, yaitu lembaga pengajuan Keberatan. Pada Lembaga inilah Gayus H Tambunan bertugas sebagai penelaah Keberatan. Lembaga ini berada di kantor Wilayah dan Pusat. Pada Lembaga ini, hasil pemeriksaan dilakukan kajian, dan modusnya adalah Wajib Pajak menolak hasil yang dikeluarkan oleh Lembaga pengajuan Keberatan. Sehingga perselisihan pajak diajukan pada Pengadilan Pajak. Biasanya orang-orang seperti ”Gayus”, telah berhubungan dengan majelis Hakim yang akan menanggani perkara di Pengadilan Pajak. Hakim-hakim pengadilan Pajak yang bekerja ”tanpa pengawasan” bisa dengan mudah memperjual belikan putusan perkara. Tak heran, hampir 80% perkara perselisihan pajak yang di ajukan pada pengadilan Pajak, selalu kalah, artinya penerimaan pajak berkurang, negara dirugikan dan aparat yang terlibat semakin kaya seperti Gayus.

Jika demikian, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Gayus H. Tambunan bukan sebuah proses yang rumit dan memerlukan keahlian yang mumpuni. Siapa saja bisa melakukannya. Apalagi, orang-orang seperti ”Gayus” juga telah membangun ”hubungan yang Harmonis” dengan penyidik polisi, Jaksa dan Hakim pengadilan. Artinya kalau pun proses makelar kasus ini terungkap (seperti kasus Gayus), maka dalam proses peradilan ”Gayus” akan mendapat putusan bebas dari Pengadilan.

Melihat begitu mudahnya menjadi makelar kasus perkara perselisihan pajak, maka Dirjen Pajak mestinya menyusun sebuah sistem pengawasan yang melekat pada setiap aparat pajak. Apalagi rumor yang berkembang selama ini adalah pada tingkat KPP (account representative dan Pemeriksaan) relatif lebih bersih di bandingkan dengan Kantor Wilayah dan Pusat, dimana Lembaga Pengajuan Keberatan berada. Ada ketakutan yang dirasakan oleh aparat Pajak pada level Kantor Pelayanan Pajak (Account Represntative dan Pemeriksa), apabila menerima begitu saja keterangan wajib pajak, maka akan di curigai melakukan tindakan menyimpang, padahal logikanya, jika memang hasil pembetulan sesuai dengan data yang ada maka seharusnya hasil pemeriksaan di terima dan diterbit Surat Ketetapan Pajak (SKP). Namun, sayangnya karena Wajib Pajak, konsultan pajak (nakal) lebih senang membawa perselisihan perkara pajak kepada Lembaga Pengajuan Keberatan dan berakhir di Pengadilan Pajak, karena sudah di pastikan akan menang. Tak heran, di Pengadilan pajak adalah istilah Majelis Kering dan Majelis Basah, Wallahu’alam

Jumat, 19 Maret 2010

Nyanyian Tunggal

Semua Agama,
Semua Nyanyian ini,
adalah satu nyanyian.

Kalau terlihat berbeda, itu hanyalah
ilusi dan tidak riel

Sinar mentari nampak sedikit berbeda
di dinding ini dibanding di dinding itu,
dan amat berbeda lagi di dinding yang lain,
padahal sinarnya tetap satu.

Kita pinjam busana ini,
karakter ruang dan waktu ini,
dari sebuah sinar, dan kala kita memuji,
kita kembalikan semua itu

Senin, 22 Februari 2010

Siapa Yang Pantas Memimpin Bank Indonesia??

Sejak SBY memilih Boediono sebagai wakil Presiden dalam pemilu Presiden yang lalu, kursi Gubernur Bank Indonesia yang diduduki oleh Boediono sebelumnya, menjadi kosong. Pejabat sementara yang ditunjuk oleh Presiden adalah Darmin Nasution. Ketika SBY-Boediono terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, sampai saat ini Presiden (sesuai UU Bank Indonesia) belum juga mengajukan nama-nama calon Gubernur Bank Indonesia pada DPR, sebagai pengganti Boediono dan selanjutnya menjalani fit and proper test di DPR. Tentu saja, kekosongan Gubernur Bank Indonesia ini, disadari atau tidak akan memberi pengaruh pada kinerja dan performance Bank Indonesia. Apalagi, ditengah gelombang krisis global yang masih melanda berbagai Negara, peran seorang Gubernur Bank Indonesia sangatlah diperlukan dalam mengatasi dampak krisis global tersebut, yang setiap saat bisa saja berimbas pada kondisi moneter dan keuangan di Indonesia, yang muaranya menjadi krisis ekonomi.

Pentingnya posisi dan peran seorang Gubernur Bank Indonesia, mestinya menjadi perhatian setiap komponen bangsa dalam menentukan calon Gubernur Bank Indonesia. Dalam situasi ekonomi dunia yang penuh dengan ketidakpastian, Indonesia memerlukan seorang Gubernur Bank Indonesia yang memiliki “kecerdasan” dalam mengantisipasi pengaruh buruk krisis global dan bisa menjaga sistem moneter dan keuangan nasional secara baik. Tidak mudah, mencari sosok yang ideal untuk seorang Gubernur Bank Indonesia. Tetapi, dengan keinginan politik yang baik (political will) Presiden dan DPR dan menyusun sebuah sistem rekrutmen yang terukur, Insya Allah, kita akan mendapatkan seorang Gubernur Bank Indonesia yang memiliki kompetensi, integritas, akuntabilitas, kreatif dan bisa membuat langkah-langkah yang kongkrit dalam kerangka menjaga stabilitas moneter dan keuangan (ekonomi) Indonesia.

Siapa saja yang pantas menduduki kursi Bank Indonesia?. Pertanyaan ini yang selama ini menjadi perhatian publik dan politisi kita. Jika kita berkenan melangkah maju dalam berpikir, maka sebenarnya calon Gubernur Indonesia bisa saja berasal dari kalangan dunia perbankan, internal Bank Indonesia (pejabat karir) atau dari luar kalangan perbankan dan Bank Indonesia. Tetapi yang paling penting dan mesti menjadi perhatian khusus adalah proses rekrutmennya.

Proses rekrutmen calon Gubernur Bank Indonesia (sesuai dengan UU Bank Indonesia), adalah calon Gubernur Bank Indonesia diajukan oleh Presiden. Diharapkan dalam mengajukan nama-nama calon Gubernur Bank Indonesia, Presiden melakukan berbagai pertimbangan yang terukur. Pertama, kompetensi. Mestinya Presiden memilih nama-nama yang secara akademis dan praktis sudah benar-benar teruji. Kompetensi ini bisa dilihat melalu rekam jejak (track record) baik secara akademis maupun praktis. Misalnya, karya tulis (skripsi, tesis, desertasi, position paper) dari calon yang akan diajukan fokus pada persoalan moneter dan keuangan nasional dan global. Selama bekerja sebagai profesional, langkah-langkah atau kebijakan yang pernah di keluarkan dan bagaimana pencapaian dari kebijakan tersebut. Kedua, calon yang akan diajukan sebagai calon Gubernur Bank Indonesia, mestinya memahami secara utuh turbulensi moneter dan keuangan Indonesia dan global beberapa tahun terakhir. Pemahaman ini sangat penting, karena jika belajar dari beberapa kasus yang melibatkan Bank Indonesia, selalu saja terjadi perdebatan di ruang publik. Kasus teranyar adalah Bailout Bank Century, yang menjadi perdebatan. Kenapa perdebatan ini terjadi, karena adanya perbedaan pendapat dalam membaca situasi dan kondisi perekonomian nasional dan global pada saat itu. Banyak kalangan berpendapat bahwa kondisi krisis global saat itu tidak terlalu berimbas pada Indonesia, sehingga Bank Century tidak perlu di Bailout. Argumentasi ini menjadi semakin, karena pada saat yang sama beberapa Bank juga mengalami masalah Rasio Kecukupan Modal (CAR), tidak di bail out, tetapi tidak memberikan dampak sistemik sebagaimana yang ditakutkan akan terjadi jika Bank Century tidak bail out. Ketiga, Presiden dalam mengajukan calon Gubernur Bank Indonesia pada DPR mestinya menyampaikan beberapa nama dan didukung oleh dokumen track record atau hasil profile asessment calon yang telah dilakukan oleh Presiden. Untuk itu, Presiden bisa saja membentuk tim kecil dalam melakukan seleksi calon-calon yang akan diajukan pada DPR RI. Sehingga publik dan DPR memiliki informasi awal dan memadai tentang profile calon-calon tersebut. Informasi ini tentu akan memudahkan DPR dalam melakukan fit and proper test, serta memudahkan publik melakukan pemantauan terhadap proses fit and proper test calon Gubernur Bank Indonesia di DPR, diharapkan tidak terjadi politik ”dagang sapi” di DPR. Keempat, DPR dalam melakukan fit and proper test mesti terukur dan dan bisa ”dijangkau” oleh berbagai pihak. Apa saja indikator penilaian yang dijadikan dasar dalam proses fit and proper test, misalnya kriteria yang mesti dipenuhi oleh calon, integritas yang terukur, akuntabilitas calon dan akuntabilitas proses seleksi, dan menjadikan transparansi sebagai norma yang setiap tahapan seleksi yang dilakukan oleh DPR.Kelima, baik Presiden maupun DPR, mestinya memberi ruang yang seluas-luasnya untuk terlibat dalam proses seleksi calon Gubernur Bank Indonesia. Harus dibentuk sebuah mekanisme public complaince dalam mengelola partisipasi publik dalam proses ini.

Dengan demikian, diharapkan Gubernur BAnk Indonesia yang terpilih, bisa menjadi panglima moneter dan fiskal Indonesia. Wallahualam...

Minggu, 27 Desember 2009

Dana Bailout Bank Century Bukan dari Uang Negara?

Beberapa hari yang lalu saya, membaca di salah satu wall list friend Facebook saya tulisan ini:
Jakarta - Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) berpendapat keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) membuat kekhawatiran industri perbankan hilang karena menyelamatkan Bank Century."Keputusan KSSK membuat kekhawatiran bank-bank hilang, karena menyelamatkan seluruh sistem keuangan dengan menyelamatkan sebuah Bank," ujar Ketua Perbanas Sigit Pramono di Jakarta, Rabu (23/12/2009).

Membaca tulisan di wall beliau tersebut, saya tulis di wall beliau:
Rp. 6,7 Triliun di korupsi....alias di maling....ini soal uang negara (rakyat)....weleh....weleh....

Berselang beberapa saat, teman tersebut langsung memberikan tanggapan atas apa yang saya tulis di wall Facebook beliau tersebut:
Tenang Bung, tolong jawab dengan jernih dan nalar 2 pertanyaan ini:
1. Siapa yang korupsi atau jadi maling?
2. Apakah fakta hukum yang membuktikan bahwa ada uang negara (rakyat) dikorupsi alias dimaling?
Salam.

Saya sejujurnya kaget dengan tanggapan dan pertanyaan dari beliau ini. Saya cermati satu persatu kata-kata tanggapan ini. Rasa-rasanya ada yang aneh dalam tanggapan beliau dan pertanyaan yang beliau ajukan. Dengan sedikit keraguan, saya tanggapi pertanyaan beliau seperti di bawah ini:
kalo dibalik pertanyaannya gimana bung?
1. Anda tau kemana uang 6,7 triliun?
2. Anda tau asal uang 6,7 triliun itu?
3. Anda tau akibat kebijakan apa sehingga uang 6,7 triliun tsb melayang?
mohon dg cinta dan akal sehat.......

Tak lama berselang, beliau langsung meberi jawaban atas pertanyaan saya tersebut:
Ini jawabannya, dan ada buktinya dan tentu dengan cinta dan akal sehat:
1. Uang 6,7 triliun masuk ke BC, tunai 5,3 trilun dan dalam bentuk SUN 1,4;
2. Asalnya dari LPS, berasal dari dana awal 4 triliun kekayaan negara yang dipisahkan dan sisanya dari iuran bank-bank;
3. Kebijakan yang dilakukan Oktober tahun 2008 akibat krisis keuangan global. ...

Saya semakin kaget dengan jawaban yang beliau sampaikan melalui wall Facebook tersebut. Saya cukup mengenal beliau ini, pernah sama-sama dalam sebuah organisasi masyarakat sipil yang konsen dengan pemberantasan korupsi. Nama beliau dalam dunia gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia dan dunia juga cukup di kenal. Bahkan beliau ini perah menjadi pimpinan pada salah satu lembaga Hukum Negara yang tugasnya memberantas korupsi sesuai dengan UU 31/99. Sungguh, hati saya berkecamuk, ada apa dengan bapak/teman yang saya hormati ini?.Masak uang yang berasal dari SUN dan LPS tidak dianggap keuangan/kekayaan Negara? Dengan hati yang sedikit sedih saya beri tanggapan balik atas jawaban beliau:

1. SUN itu klo tidak tertagih siapa yang bayar ya...... Tuhan kah?
2. Kekayaan negara itu beda dengan bukan milik rakyat ya?
3. untuk nomor ini, bukan kah negara ini sudah punya pengalaman selalu rugi klo nanti pd saatnya saham milik LPS (negara) itu di jual kembali? kasus BCA dll

Setuju proses hukum di usut sampai tuntas....

Kemudian beliau memberi tanggapan balik atas respon saya di atas:

1 s/d 3 kita sama-sama tahu itu, tapi Anda belum menjawab 2 pertanyaan pertama, langsung menyimpulkan.

Waduh...kok semakin kacau cara berpikirnya ya. Dengan setengah hati saya beri tanggapan respon tersebut:

kalo pertanyaan yang pertama....
saya rasa sudah terjawab dg jawaban anda bahwa pertanyaan nomo 1 s/d 3 kita sama2 tau.....
Kalo dibaca dg cinta dan akal sehat, maka tulisan di wall adalah hal yg biasa saja...dan tidak ada yang menyimpulkan dan menuduh siapa pelaku malingnya........

Setelah itu beliau tidak lagi memberi tanggapan. Saya tidak tahu apa alasan beliau tidak memberi tanggapan. Tapi apa yang ada di kepala menjadi bertanya-tanya. Masak orang sekualitas beliau tidak bisa membedakan mana yang masuk doamin korupsi, kekayaan negara atau politik? Saya bisa memaklumi, mungkin beliau terlalu bersemangat mendukung Sri Mulyani, karena beliau ini sebelumnya juga invite saya untuk bergabung dalam grup ”Kami percaya dengan Integritas Sri Mulyani”. Saking semangatnya dan percayanya denga integritas Sri Mulyani, jawaban diskusi ringan di Wall Facebook itu menjadikan beliau seperti orang yang tidak memiliki logika dan kurang jernih. Mudah-mudahan saya salah......karena jujur saya masih berharap beliau ada tetap dalam satu barisan bersama-sama melawan korupsi di negeri ini. Semoga Beliau kembali bisa berpikir jernih sehingga kita bisa bersama-sama lagi bergerak melawan korupsi. Saya menanti mu kembali kawan!!!!

Selasa, 15 Desember 2009

BailOut Bank Century=Korupsi Sistemik??

Beberapa minggu belakangan ini saya sering mendapat sms, dan invite di Facebook untuk join dengan berbagai grup yang berkaitan dengan skandal bank Century. mulai dari grup yang menuntut agar kasus bank century diusut sampai tuntas. misalnya Grup "usut Tuntas skandal Bank Century", Grup
Selain itu ada juga yang invite agar bergabung dengan grup yang malu-malu mendukung skandal bank century, misalnya Grup "SAya Percaya Integritas Sri Mulyani" dan masih banyak lagi grup di Fb yang mendukung dan meminta agar Sri Mulyani dan Boedino di usut atau dibela.
Setiap hari, media massa baik cetak maupun elektronik setiap saat menjadikan kasus bank Century sebagai headline.
Saya tidak akan menulis note ini secara panjang lebar, karena sudah terlalu muak dengan perdebatan masalah Bank Century. Malah sampai ada yang hampir "setiap hari bersumpah atas nama Tuhan" tidak menerima aliran dana (Rp.6,7 Triliun) untuk kepentingan tim politik dan sebagainya. Cerita nya tidak sampai disitu saja, seklompok LSM mengungkap dan menyebut nama-nama beberapa orang politisi di negeri ini, kemudian kelompok politisi tersebut berbondong-bondong melaporkan LSM tersebut karena mencemarkan nama baik. DPR segera mengesahkan Pansus Hak Angket Bank Century, kemudian semua ribut masalah ada penumpang Gelap dalam Pansus hak Angket ini. BPK menyampaikan hasil audit kepada
DPR dan KPK, ada dugaan penyalahgunaan dana Baill Out Bank Century, sayangnya cuma bisa ditelusuri pada 51 rekening. Kemudian PPATK menyatakan karena keterbatasan tenaga hanya 51 Rekening itulah yang bisa di buka. KPK menemukan 3 indikasi tindak pidana.....
Tak lama kemudian, ada yang mengungkap soal rekaman pembicacaraan yang diduga antara Sri Mulyani dan Robert Tantular. Anggota DPR dari Golkar ini menyampaikannya dalam rapat Pansus. Sri Mulyani membantah......
Setiap hari kita dibikin bingung oleh pelaku (newsmaker), sehingga substansi kasus bank century jadi kabur dan bahkan nyaris tak terdengar. kalau secara awam kan sederhana mengurai kasus bank century ini.
1. Ada Bank yang bernama Century (dulu tidak dikenal) yang mengalami krisis
2. Krisis bank Century ini dianggap KSSK bisa mengakibatkan dampak sistemik pada dunia perbankan nasional (Komite ini saat itu diketuai oleh Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan)
3. Karena dianggap bisa memberi dampak sistemik, maka kemudian KSSK memutuskan memberikan dana talangan pada Bank Century (totalnya Rp. 6,7 Triliun)
4. Dana tersebut mestinya digunakan oleh Bank Century untuk membayar dana nasabah yang ada di Bank Century.

Jika kita melihat secara awam, artinya ada krisis di Bank Century yang dianggap memberi dampak sistemik (tentu ini mestinya ada ukurannya). Jika sedikit agak serius, apakah benar Krisis pada Bank Century saat itu akan memberi dampak sistemik? coba kita lihat beberap hal:
1. Ukuran atau besaran Bank Century... (baik jumlah nasabah, kaitan dengan Bank lain dll). Apakah pantas Krisis Bank Century memberi dampak sistemik?
2. Sistem pembayaran
3. Infrastruktur perbankan
4. Faktor psikologis.

dari empat hal ini, hanya faktor phikologis yang dijadikan pertimbangan oleh KSSK untuk memutuskan memberi bailout pada Bank century agar tidak memberi dampak sistemik. Pertanyaanya siapa yang bisa mengukur dampak phikologis? apa alat ukur dan indikatornya? jawabannya weleh-weleh-weleh....

Yang jelas dan terang benderang adalah ada Uang Rp 6,7 Triliun (itu uang negara=rakyat) yang di salurkan apda Bank Century, kemudian uang itu tidak kembali, atau bahasa Jusuf Kalla "PERAMPOKAN".
Sekarang Siapa yang bertanggung jawab?
Jika mau diurut kronologisnya...maka semua terang benderang siapa yang Pertama Kali di Mintai Pertanggung jawaban, baik secara politis, hukum dan moral. Terlepas yang membuat kebijakan menikmati atau tidak uang hasil "rampokan" Bank Century. Jadi ini bukan masalah percaya atau tidak dengan integritas seseorang...tapi ini soal Uang Rakyat......
Persetan duit itu mengalir jauh kemana....minta saja pertanggungjawaban....
saya jadi ingat tulisan Robert Kligart "mungkin inilah yang dinamakan korupsi sistemik=Korupsi berjamaah".