Minggu, 19 Oktober 2008

Tebar Janji Yuks; Walau Bohong"


Memasuki tahun 2008, kita dihadapkan pada sebuah ritual lima tahunan. Semua ruang publik, mulai dari media massa, jalanan, halte, bahkan tempat ibadah dan sekolahan dipenuhi dengan gambar-gambar atau pesan-pesan partai politik. Wajar saja, karena menjelang pemilu 2009, semua partai kembali mengumbar janji-janji. Mulai dari isu pendidikan, HAM, kesejahteraan petani dan nelayan, mencintai produk Indonesia, kepemimpinan, ekonomi, penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi. Tidak ada satupun isu yang terlewatkan dalam pesan-pesan yang disampaikan oleh partai politik peserta pemilu. ya begitulah, ritual lima tahunan yang selalu disuguhkan oleh partai politik pada rakyat dalam merebut hati pemilih dalam setiap pemilu.

Kampanye yang dilakukan oleh Partai Politik, sejak pemilu 1955, tidak pernah berubah. Cara-cara yang dilakukan cenderung terkesan "kuno dan ngibul". Sampai saat ini belum ada cara-cara kreatif dari partai politik untuk merebut para pemilih. Selalu saja, mengedepankan janji-janji yang cenderung "basi". Padahal kampanye paling baik adalah memberikan pelayanan pada masyarakat. Melayani kebutuhan masyarakat mestinya dilakukan oleh partai politik. Melayani hal-hal sedernaha tentu tidak terlalu susah untuk dilaksanakan. Misalnya membantu peningkatan kualitas pendidikan untuk orang miskin, pelayanan kesehatan dan pengembangan pertanian. Cara-cara ini mungkin lebih menyentuh kebutuhan masyarakat, sehingga mereka berempati, dengan demikian diharapkan dalam pemilu 2009, mereka akan memilih partai yang memberikan pelayanan pada masyarakat. Memberikan pelayanan pada masyarakat tentu saja secara langsung juga membangun komunikasi politik dengan pemilih. Komunikasi yang intensif melalui pelayanan tentu saja memiliki ukuran-ukuran yang jelas. Semua parpol bisa memprediksi perolehan suara mereka dalam pemilu melalui seberapa banyak mereka memberikan pelayanan pada rakyat. Tentu saja, hasil (perolehan suara) tidak serta merta diperoleh jika parpol melakukannya hanya menjelang pemilu. Ini terkesan "kalo ada maunya" parpol baru turun melayani rakyat.

Upaya melayani rakyat, juga berdampak positif pada pengelolaan organisasi partai politik. Komunikasi politik yang terbangun melalui pelayanan yang diberikan pada masyarakat, biasanya ada feed back dari masyarakat. Masukan-masukan dari masyarakat berkaitan langsung dengan dialektika kepartaian, baik dalam menentukan program, calon, dan pengelolaan partai. Jika demikian, maka partai akan semakin dewasa dan solid bersama rakyat. Sehingga, tidak ada lagi plang nama partai yang muncul hanya ketika menjelang pemilu, atau kantor partai hanya ramai menjelang pemilu. Beberapa partai, sebenarnya sudah memulai upaya-upaya memberikan pelayanan pada rakyat, sayangnya masih terkesan karikatif dan belum menyentuh substansi kebutuhan rakyat. Pun demikian, parta-partai yang telah mulai tersebut, memperoleh suara yang sangat signifikan dalam setiap pemilu. Apalagi jika pelayanan tersebut dilakukan dengan terencana dan sistematis.

Jika ditilik dari sisi biayapun, memberikan pelayanan pada masyarakat, biaya yang dibutuhkan tidak terlalu besar, karena biasanya masyarakat kita juga mempunyai kemandirian. Jika pun semua biaya berasal dari partai politik, itupun masih sangat kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh Partai politik dalam berkampanye konvensional, misalnya iklan di TV dan Koran, penyebaran spanduk, famlet, stiker dan berbagai media kampanye lainnya. Apalagi dampak iklan dan penggunaan media kampanye tersebut tidak dapat diukur feed back nya pada partai. Selain itu, komunikasi politik yang dilakukan hanya searah, sehingga tidak ada masukan, kritikan dari pemilih langsung, paling banter cuma dibahas di forum-forum diskusi atau opini di media massa yang sangat elitis. Bisa dibayangkan jika komunikasi politik yang dibangun oleh partai politik hanya dibahas dalam ruang-ruang elit yang diklaim sebagai pendapat masyarakat? makanya tak heran setelah pemilu jumlah orang yang stress (terutama calon) selalu bertambah. Pertanda apakah ini?? wallahualam

Selasa, 14 Oktober 2008

Tan Malaka, Pemuda Misterius di Sebelah Bung Karno

Oleh: Febrianti/PadangKini.com

SEORANG pemuda yang mengenakan helm coklat, berjalan di sebelah Sukarno menuju Lapangan Ikada 19 September 1945. Keduanya berjalan bersama rombongan pemuda yang membawa bambu runcing untuk menggelar pertemuan di Lapangan Ikada. Peristiwa itu dikenal sebagai rapat akbar di Lapangan Ikada.

Rapat akbar karena desakan pemuda itu digelar sebagai demonstrasi untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia sudah merdeka. Karena proklamasi kemerdekaan sendiri sebulan sebelumnya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi karena takut diserang Jepang.

Pemuda yang berjalan di sebelah Sukarno itu selama ini tak dikenal, hanya dianggap sebagai pemuda yang mengawal Sukarno. Ternyata pemuda itu adalah Tan Malaka.

Karena saat itu tidak banyak yang menyadari Tan Malaka telah kembali ke Indonesia setelah mengembara di berbagai negara selama 30 tahun.

Harry A.Poeze berhasil mengidentifikasi Tan Malaka yang berjalan di sebelah Sukarno.

"Ini Tan Malaka yang berjalan dengan Sukarno, karena Tan Malaka itu tingginya setelinga Sukarno, dan saya juga mendapatkan salah satu foto Tan Malaka yang mengenakan helm," kata Harry A Poeze sambil menunjuk foto lain Tan Malaka memakai helm coklat yang sedang tertawa.

Dalam foto menuju lapangan Ikada itu juga terlihat Tan Malaka berjalan di belakang Sukarno dan Hatta. Ini menjawab teka-teki selama ini, apakah Tan Malaka hadir dalam rapat itu.

"Ini juga bukti, Tan Malaka berperan besar dalam rapat itu yang meruncingkan perlawanan kepada Jepang," kata Harry.

Menurut Harry A Poeze dalam riwayat hidup Tan Malaka mungkin hanya ada 30 sampai 40 foto, karena gaya hidupnya yang selalu berpindah melintasi beberapa negara dengan banyak nama samaran untuk menghindar kejaran intel dan tentara kolonial.

Harry Poeze mendapatkan foto-foto dari surat kabar lama dan majalah lama, salah satunya foto Tan Malaka muda yang sedang berpose memegang buku dengan potongan rambut di dahi yang belah tengah. Foto itu dibuat saat Tan Malaka baru sampai di Belanda dan foto itu dikirimnya ke kampung halamannya.

Ada juga foto resmi Tan Malaka di sekolah Rijkskweekschool, Belanda dengan pakaian yang sangat necis dan mengenakan topi. Foto ini juga dikirim ke kampung halamannya.

Di Belanda Tan Malaka ikut kesebelasan sepakbola yang kuat, terlihat di foto Tan Malaka bersama teman-teman kesebelasannya. Ia amat mudah dikenali karena kulitnya yang lebih gelap. Selain itu Tan Malaka juga ikut orkestra dan memainkan biola. Dalam foto itu Tan Malaka berada di sudut kanan dan nyaris terpotong.

Ada juga foto Tan Malaka bersama perwakilan partai komunis di berbagai negara, saat ikut kongres partai komunis sedunia pada 1922 di Moskow. Setelah kongres itu, Tan Malaka dikirim partai komunis Rusia ke Asia Tenggara untuk mendirikan partai komunis untuk melawan penjajahan barat.

Setelah itu Tan Malaka selalu diburu polisi rahasia dari Hindia Belanda, Inggris, dan Amerika. Ia harus bersembunyi terus di Muangthai, Hongkong, Filipina, Cina, dengan banyak nama samaran.

Ada foto yang menunjukkan Tan Malaka ditahan polisi di Filipina pada 1927. Waktu itu Filipina dijajah Amerika. Tan Malaka terlihat dikawal polisi Filipina ke ruang pengadilan dan foto Tan Malaka sedang diadili. Foto ini didapat Harry Poeze dari surat kabar lama Filipina, karena itu kualitasnya buruk.

Belakangan Tan Malaka memutuskan hubungan dengan kegiatan komunis dan putus pula hubungan dengan Moskow, Tan Malaka lalu membentuk PARI, Partai Republik Indonesia. Namun karena masih pergi ke sana kemari, Tan Malaka tertangkap polisi Hongkong.

Polisi juga membuat sebuah foto resmi pada 1932 dengan wajah Tan Malaka dan sebuah cermin di sampingnya yang menampakkan raut wajah dari samping. (febrianti)

Senin, 13 Oktober 2008

Syahrul Yondri: Penemu Cabe Kopay

DI ATAS sepetak lahan kecil di tengah ladangnya yang luas pada 2005, Syahrul Yondri, 43 tahun, petani cabe di Kelurahan Koto Panjang, Kenagarian Lampasi, Payakumbuh menanam 150 batang cabe merah keriting.

Biasanya di ladangnya yang luasnya 2 hektare, ia menanam lebih seribu rumpun cabe. Namun panen cabenya baru saja digagalkan virus kuning yang dibawa serangga mirip kupu-kupu yang diberi nama virus kutu kebo.

Seluruh daun cabenya menguning dan tidak sempat berbuah. Bukan cabenya saja yang terkena, tetapi juga cabe-cabe milik petani di Limpasi, hampir semuanya gagal panen.

Apalagi virus kutu kebo tersebut tahan berbagai pestisida yang disemprotkan petani.

Akhirnya Syahrul berinisiatif melakukan penelitian kecil-kecilan mencari cara menyingkirkan virus yang dibawa si kutu kebo. Ia mulai mempersiapkan lahan untuk ditanami cabe untuk sarana penelitiannya. Ia menanam 150 cabe keriting lokal.

"Saat cabe saya diserang, saya amati, hama kutu kebo itu sepertinya tidak tahan panas matahari, kalau cahaya matahari sedang terik, dia berlindung di bawah daun, makanya saya membuat cara agar hama di balik daun itu kena cahaya," katanya.

Yon memulai percobaannya. Di bawah rumpun cabe yang baru tumbuh, ia meletakkan pecahan cermin serta aluminium foil bekas makanan kecil. Ternyata lumayan berhasil. Hama kutu kebo mulai enggan hinggap, selama tiga bulan, lebih separuh cabe bebas dari kutu kebo dan bisa menghasilkan buah.

"Sepanjang hari saya amati pertumbuhannya, banyak juga orang kampung yang mengatakan saya sedang stres, kehilangan akal, karena hampir setiap hari bermenung di depan rumpun cabe," kata Yon.

Melihat ada hasilnya, Yon memutar otak mencari cara mengganti cermin dan aluminium foil bekas bungkus makanan kecil untuk memantulkan cahaya agar lebih praktis. Akhirnya pilihan jatuh ke plastik mulsa perak yang biasa digunakan petani saat bertanam untuk melindungi tanaman dari gulma.

Karena mulsa kurang banyak memantulkan cahaya, Yon mengecat plastik mulsa dengan warna perak, lalu ia menanam cabe lagi, menggunakan pupuk kompos dan menutup bedengan tanah dengan mulsa.

Hama makin jauh berkurang, bahkan cabenya jauh lebih subur. "Ada yang panjangnya 22 cm, lebih panjang dari biasanya yang hanya 17 cm," kata Yon.

Ia lalu memilih bibit cabe yang unggul dan paling panjang, lalu mulai menyemainya kembali.

Ia kembali bertanam cabe dengan menggunakan mulsa, lalu mulai menambah pupuk kompos dua kali lebih banyak dari biasa. Biasanya satu rumpun menggunakan 1 kilogram kompos, kini ia tambahkan menjadi 2 kilogram per batang cabe.

Cabenya subur dan hama kutu kebo tidak ada lagi, begitu juga hama lainnya. Hasilnya cabenya semakin panjang, bahkan ada dua batang cabe yang memiliki buah yang panjangnya hingga 35 cm. Salah satu batang cabe berdahan pendek sehingga buahnya menjuntai ke tanah, dan satunya lagi lebih tinggi dan panjang buah tetap sama.

Yon memilih mengembangkan bibit cabe dari batang yang tinggi, agar buahnya nanti tidak busuk karena menyentuh tanah.

Tiga Kali Percobaan

Akhirnya setelah tiga kali percobaan, Yon kembali menanami ladang cabenya seperti semula. Dari 1 kilogram bibit cabe unggul yang telah dipilihnya, ia mendapatkan bibit 1.200 batang cabe. Lalu Yon mulai bertanam seperti perlakuan pada penelitiannya, diberi kompos 2 kilogram tiap tanaman dan ditutup mulsa.

Hasilnya, tiga bulan kemudian buah cabe yang muncul panjang-panjang, bahkan pada musim panen minggu pertama ada yang panjangnya 40 cm. Rata-rata panjangnya 25 cm hingga 35 cm. Ia menikmati masa panen selama 27 kali panen atau 14 minggu. Sebatang cabe bisa mengasilkan 1,4 kilogram cabe.

Yon jelas lebih beruntung dibandingkan cabe keriting biasa. Dulu ia hanya bisa panen selama 9 minggu atau 17 kali panen dengan hasil 4-7 ons cabe per batang.

"Buah cabe dalam sebatang itu sama, tetapi yang menguntungkan itu kan karena cabenya lebih panjang, jadi lebih berat, 1 kilogram cabe keriting biasa 260 buah sedangkan 1 kg cabe kopay berjumlah 90-110 buah cabe," kata Yon.

Cabenya langsung disambut pasar dengan harga lebih tinggi. Cabe keriting biasa saat itu Rp18 ribu per kilogram, cabe kopay milik Yon dihargai Rp24 ribu per kilogram, semua dibeli untuk pemasaran ke Pekanbaru.

"Mungkin orang mau beli karena bentuknya aneh, ada cabe keriting kok panjang, selain itu cabenya juga lebih tahan terhadap suhu ruang, bisa seminggu tidak busuk, kalau cabe biasa hanya tahan 3 hari," katanya.

Ia saat itu berhasil panen cabe 1,3 ton dan meraup untung Rp40 juta. Uang tersebut digunakannya untuk membeli lahan seluas 1.700 meter untuk tempat mendirikan rumah dan ladang cabenya. Sebelumnya ia menyewa lahan.

Namun kesuksesan Yon masih belum dipercayai petani di kampungnya.

"Banyak yang mengatakan itu hanya kebetulan, bahkan mereka menolak bibit yang saya berikan," kata Yon.

Yon lalu mulai bertanam lagi, kali ini 1.600 batang, namun ia terus memilih bibit dari cabe yang paling unggul. Panen kedua, cabenya tetap panjang-panjang dan ia meraup untung Rp45 juta dari hasil cabe 2,4 ton. Ada yang mulai percaya kepada Yon. Seorang petani minta bibit darinya dan dibimbing Yon saat bertanam. Hasilnya bagus.

"Sejak melihat panen saya berhasil, orang-orang mulai tertarik dan percaya, lalu ramai-ramai menanam cabe dari bibit saya," kata Yon yang juga Ketua Kelompok Tani Tunas Maju di kampungnya.

Yon juga setia menggunakan pupuk organik. Pupuk organik ini dibuatnya sendiri dengan mencampurkan jerami padi, kotoran sapi, dan trikoderma. Untuk 2 hektar lahannya ia membutuhkan 50 ton pupuk kompos.

"Saat ini saya juga menjual bibit bersama kelompok tani, harganya Rp75 ribu per kilogram, bibit ini dipilih dari cabe terbaik dan sejah tahun lalu mulai ditanam petani-petani di Sumatera Barat, kalau cabenya tetap dipasarkan ke Riau," katanya.

Nama cabe kopay diberikan Wali Kota Payakumbuh Josrizal Zain agar diakui sebagai varietas lokal asli dari Payakumbuh.

Saat ini cabe Kopay telah mendapat sertifikat dari Balai Pemurnian dan Sertifikasi Benih Kantor Pusat Perlindungan Varietas Tanaman Departemen Pertanian. Oktober 2008, rencananya akan diseminarkan dan akan diluncurkan sebagai varietas baru.

Syahrul saat ini sudah hidup lumayan di kampungnya. Punya lahan yang luas, rumah permanen tipe 150 meter persegi, dan sebuah mobil Suzuki Carry. Pria kelahiran 1965 ini tinggal bersama istrinya, Yulismar, dan anak gadisnya, Siska Sri Indah Mulia.

Kini selain bernama cabe, ia juga menjual bibit cabe. Keseharianya kini disibukkan melayani tamu dari kelompok tani berbagai daerah di Sumatera Barat yang datang hamir setiap hari membeli bibit dan minta diajarkan bertanam cabe kopay.

"Ini juga ditangani kelompok tani kami, karena menyita waktu, kini kami kenai bayaran Rp350 ribu per hari untuk satu kelompok tani, karena sekarang waktu saya habis untuk itu, tidak sempat lagi mengurus cabe sehingga saya harus punya anak buah untuk membantui mengurus cabe," katanya.

Syahrul berharap petani lain bisa merasakan bagaimanan senangnya jadi petani.

"Sebab selama ini penilaian orang derajat petani terlalu rendah, dengan kopay, ekonomi naik, sehingga petani disegani orang, agar orang tidak berpacu lagi menjadi pegawai negeri, petani juga bisa hidup senang seperti orang lain," katanya.

Yon mulai menjadi petani sejak tahun 2000. Tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada1985, ia sempat menjadi guru SD sebentar, karena pendapatan kecil, ia banting stir menjadi montir elektronik pada 1990.

Setelah banyak muncul bengkel elektronik lain, ia banting stir menjadi tukang bangunan hingga mengerjakan proyek pembangunan Rumah Sakit Adnan Payakumbuh. Namun ia tak memperoleh keuntungan, akhirnya pada 2000 kariernya berakhir di lahan pertanian.

Lahan itulah yang mengantarnya menjadi penemu cabe besar, Cabe Kopay, cabe asli dari Kota Payakumbuh. (Febrianti/PadangKini.com)