Rabu, 07 April 2010

Langkah-Langkah Menjadi "Gayus"

Terungkapnya kasus mafia Pajak beberapa waktu yang lalu, memberi sinyal pada kita bahwa, reformasi birokrasi yang sedang digulirkan belum lah memenuhi harapan. Dirjen Pajak sebagaii pilot project reformasi birokrasi, justru menjadi pintu pertama yang memberikan gambaran pada kita bahwa di Negara ini korupsi masih menjadi “sesuatu yang biasa”. Walaupun sudah ada KPK sejak trahun 2003 dan berbagai satgas yang dibentuk oleh Presiden SBY untuk memberantas korupsi, nyatanya korupsi malah menguak dari tempat yang selama ini di gadang-gadang menjadii contoh keberhasilan reformasi birokrasi, apalagi Departemen Keuangan dan jajarannya (termasuk Dirjen Pajak) selalu di klaim sebagai institusi yang menerapkan reward dan punishment, serta proses rekrutmen yang transparan dan pejabatnya diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas. Jika keberhasilan reformasi yang dimaksud adalah memberikan pelayanan yang baik, maka kita semua akan setuju. Tentu saja, bukan cuma pelayanan yang baik yang menjadi tujuan dari reformasi birokrasi.

Kasus Gayus hanyalah puncak gunung es korupsi di Dirjen Pajak dan Indonesia pada umumnya. Menilik kasus Gayus, sesungguhnya mafia pajak “wajar” saja terjadi atau sudah ada dari dulu, karena melihat skema atau alur pelaporan dan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak pada Dirjen Pajak, hampir disetiap tahapan rentan terjadinya penyimpangan.

Lihat saja, mulai dari Wajib Pajak menyampaikan laporan pajaknya kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang di tunjuk, peluang penyimpangan sangat besar terjadi. Penyimpangan itu (suap) bisa saja dari inisiatif Wajib Pajak (biasanya melalui konsultan pajak) atau dari Account Representatif (AR) di Kantor Pelayanan Pajak yang di tunjuk. Pada tahap ini, Wajib Pajak biasanya melakukan komunikasi yang intensif dengan Account Representatif. Komunikasi ini bisa melaluii email, telpon atau bertatap muka. Selama proses ini biasanya berpeluang terjadi penyimpangan (suap). Karena terjadinya suap, biasanya dilakukan oleh para pihak yang sudah “saling percaya”. Proses “saling percaya” ini biasanya terbangun karena adanya komunikasi yang intensif. Beberapa hasil riset memang memperlihatkan bahwa pada tahapan ini prilaku menyimpang (suap) sudah jarang terjadi, hal ini disebabkan karena adanya target penerimaan pajak yang dibebankan pada masing-masing Account Representatif. Jika target tersebut sudah terpenuhi maka, Account Representatif bisa saja melakukan kongkalikong dengan Wajib Pajak karena tidak ada sistem pengawasan yang melekat dari Dirjen Pajak. Setahu penulis, sistem pengawasan hanya menggunakan sistem rolling Account Representatif secara periodik (2 tahun). Namun, hasil pengamatan yang ada, sistem ini pun tidak jalan, masih banyak Account Representatif yang masih menangani Wajib pajak yang sama lebih dari 2 tahun.

Apabila Wajib Pajak tidak bisa ”membeli” Account Representatif, maka proses selanjutnya Wajib Pajak bisa menolak Laporan Pajak Pembetulan yang diterbitkan oleh Account Representatif untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan di bagian pemeriksaan. Pada proses ini dilakukan pemeriksaan baik materiil maupun formil. Pada prose pemeriksaan ini, Wajib pajak dan pemeriksa juga berpeluang melakukan tindakan menyimpang. Suap sangat berpotensi terjadi karena memang pada tahapan ini pun,tidak ada sistem pengawasan yang melekat pada aparatur Pajak yang melakukan pemeriksaan. Bahkan dalam beberapa kasus, tak jarang hasil penelitian yang dilakukan oleh Account Representatif tidak dijadikan rujukan dalam melakukan pemeriksaan.

Pada dua tahapan ini (Account Representatif dan Pemeriksaan), ada kecenderungan dari wajib Pajak untuk melakukan opsi menolak hasil penelitian dan pemeriksaan yang dilakukan. Dengan menolak hasil pemeriksaan, maka perkara perselisihan Pajak akan diserahkan pada Lembaga
Pengajuan Keberatan. Lembaga ini ada pada Kantor wilayah dan Kantor Pusat. Artinya jika Wajib pajak ”gagal” menyuap pada tingkat Kantor Pelayanan Pajak dimana Account Representatif dan Pemeriksa berada, maka Wajib pajak masih memiliki peluang melakakukan penyuapan pada tingkat kantor wilayah dan Pusat dimana Lembaga Pengajuan Keberatan tersebut bernaung. Pada lembaga ini lah Gayus H. Tambunan bekerja sebagai penelaah. Modus mafia pajak pada lembaga ini biasanya dimulai dari penelaahan yang tidak komprehensif, dalil, pasal dan data yang di buat sumir, tetapi hasil penelaahan tetap sesuai dengan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang dilakukan pada tahap sebelumnya di Kantor Pelayanan Pajak. Sembari melakukan penelaahan yang semu, aparatur pajak dan wajib pajak sudah melakukan komunikasi dengan hakim-hakim yang ada di Pengadilan Pajak. Komunikasi ini dilakukan dalam rangka menyusun majlis hakim yang akan menangani perkara perselisihan pajak yang sedang dilakukan penelaahan. Karena sudah bisa dipastikan, hasil dari Lembaga Pengajuan Keberatan Pajak akan di tolak oleh Wajib Pajak (yang sudah bekerjasama dengan Penelaah di Lembaga Pengajuan Keberatan, jangan heran biasanya aparatur pajak sendiri yang menyarankan agar menolak hasil pemeriksaan dan penelaahan), dengan demikian kasus perselisihan pajak tersebut sudah pasti akan masuk ke Pengadilan Pajak. Para penelaah biasanya sudah memiliki jaringan dengan majlis hakim dii Pengadilan Pajak yang bisa di suap. Sehingga tak heran, hampir laporan 80% perkara yang diajukan oleh Dirjen Pajak selalu mengalami kekalahan di Pengadilan Pajak.

Melihat alur perkara perselisihan pajak, maka hampir disetiap tahapan berpotensi terjadinya penyimpangan. Potensi ini terjadi karena lemahnya sistem pengawasan yang diterapkan oleh Dirjen Pajak kepada aparaturnya. Sementara di satu sisi aparatur pajak di beri renumerasi yang cukup besar jika dibandingkan dengan Pegawai Negeri Sipil lainnya. Mestinya, pemberian renumerasi haruslah di iringi dengan pembangunan sistem pengawasan yang baik, pembinaan pegawai secara terus menerus, serta melakukan integrasi sistem kerja perpajakan dengan sistem pengawasan internal, misalnya KPK, Kepolisian dan lain-lain. Selain itu, sudah saatnya di susun aturan dan kode etik yang diterapkan pada kantor Konsultan Pajak. Dan yang terpenting adalah semua proses tersebut mestinya memberi peluang dan ruang yang cukup untuk publik melakukan pengawasan. Jika tidak, maka mafia Pajak akan terus menggerogoti sekujur tubuh Dirjen Pajak. Jika tidak ada langkah-langkah yang serius dan terukur dalam perbaikan sistem pengawasan di Dirjen Pajak, jangan heran beberapa waktu yang lalu PERC Hongkong menetapkan Indonesia sebagai negara paling Korups di Asia. Dan status itu sudah pasti akan terus kita sandang jika tidak ada perbaikan yang signifikan.

Minggu, 04 April 2010

Duh!! Mudahnya Jadi Gayus

Sejak kasus makelar Pajak di buka pada publik oleh Susno Duadji (10/3/10), nama Gayus H. Tambunan terus menjadi pembicaraan. Pegawai Negeri Sipil Golongan IIIA pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini menjadi bahan pemberitaan di pelbagai media massa. Sebagai PNS golongan IIIA, Gayus pernah memiliki transaksi pada rekeningnya yang nilainya cukup fantastis untuk ukuran PNS golongan rendah. Apalagi, kasus ini juga “menyeret” beberapa nama Jenderal di Mabes Polri, Jaksa, Hakim dan Pengacara serta pengusaha. Kasus ini tentu saja menjadi anti klimaks dari upaya reformasi birokrasi yang digaungkan oleh pemerintah, dan Dirjen Pajak salah satu instansi yang diharapkan menjadi pilot project.

Mengurai kasus Gayus H. Tambunan, perlu kiranya kita melihat secara cermat sistem yang berlaku di Dirjen Pajak, ada beberapa celah yang berpotensi atau memberi peluang para pihak melakukan praktik menyimpang (Kolusi, Suap).

Sesuai ketentuan yang berlaku, setiap tahun Wajib Pajak (badan/pribadi) menyampaikan SPT pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dalam menyerahkan SPT, ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu Lebih Bayar (LB) dan Kurang Bayar (KB/Nihil). Proses selanjutnya, SPT Wajib Pajak (terutama yang kurang bayar/nihil) dilakukan klarifikasi oleh Account Representative (AR) dari Kantor Pelayanan Pajak. Pada proses ini AR akan melakukan penelitian data SPT yang disampaikan oleh wajib pajak. Penelitian ini dilakukan berdasarkan sumber data dari SPT dan sumber data ekternal yang berkaitan dengan usaha yang dijalankan oleh Wajib Pajak. Jika ditemukan perbedaan atau dugaan penyimpangan Pajak, maka AR melakukan himbauan, konseling melalui telpon, email atau tatap muka dengan wajib pajak. Diharapkan melalui proses ini, ada titik temu dari perbedaan data yang disampaikan oleh Wajib Pajak dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Account Representative, sehingga ada SPT pembetulan (penyesuaian). Jika SPT pembetulan di terima oleh Wajib Pajak maka Negara akan menerima setoran pajak sesuai dengan yang diharapkan. Selama proses ini, rentan terjadi praktik menyimpang (suap), pelaku yang patut diduga terlibat adalah wajib pajak, Account representative dan konsultan pajak. Praktik suap sangat mungkin terjadi karena tidak ada sistem pengawasan yang dilakukan selama proses ini. Cara terbaik adalah melakukan rotasi petugas Account Representative secara periodik. Karena praktik suap terjadi karena adanya rasa ”saling percaya” antara para pihak. Artinya jika Account Representative yang menangani/melayani wajib pajak dirotasi secara periodik, diharapkan akan memutus komunikasi yang intens antara para pihak (AR, WP dan Konsultan pajak), sehingga tidak ada proses saling percaya. Karena biasanya ”saling percaya” lahir dari komunikasi yang intens dan terus menerus.

Proses selanjutnya, apabila wajib pajak keberatan dengan hasil pembetulan oleh Account Reseptantive, maka wajib pajak bisa menolak hasil tersebut dan masuk pada tahap pemeriksaan. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Artinya dilakukan pemeriksaan formil (laporan keuangan, transaksi dll) dan materiil (peraturan perpajakan dan peraturan lain yang berlaku umum). Pada tahap ini, makelar kasus mulai bermain, tentu makelar ini bisa masuk karena ada jaringan dengan pelbagai pihak, baik Pemeriksa, konsultan pajak, Wajib pajak dan pihak lain yang terkait. Dalam banyak kasus, hasil pemeriksaan selalu di tolak oleh wajib pajak. Dengan penolakan hasil pemeriksaan, maka perkara perselisihan pajak akan dibawa pada proses selanjutnya, yaitu lembaga pengajuan Keberatan. Pada Lembaga inilah Gayus H Tambunan bertugas sebagai penelaah Keberatan. Lembaga ini berada di kantor Wilayah dan Pusat. Pada Lembaga ini, hasil pemeriksaan dilakukan kajian, dan modusnya adalah Wajib Pajak menolak hasil yang dikeluarkan oleh Lembaga pengajuan Keberatan. Sehingga perselisihan pajak diajukan pada Pengadilan Pajak. Biasanya orang-orang seperti ”Gayus”, telah berhubungan dengan majelis Hakim yang akan menanggani perkara di Pengadilan Pajak. Hakim-hakim pengadilan Pajak yang bekerja ”tanpa pengawasan” bisa dengan mudah memperjual belikan putusan perkara. Tak heran, hampir 80% perkara perselisihan pajak yang di ajukan pada pengadilan Pajak, selalu kalah, artinya penerimaan pajak berkurang, negara dirugikan dan aparat yang terlibat semakin kaya seperti Gayus.

Jika demikian, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Gayus H. Tambunan bukan sebuah proses yang rumit dan memerlukan keahlian yang mumpuni. Siapa saja bisa melakukannya. Apalagi, orang-orang seperti ”Gayus” juga telah membangun ”hubungan yang Harmonis” dengan penyidik polisi, Jaksa dan Hakim pengadilan. Artinya kalau pun proses makelar kasus ini terungkap (seperti kasus Gayus), maka dalam proses peradilan ”Gayus” akan mendapat putusan bebas dari Pengadilan.

Melihat begitu mudahnya menjadi makelar kasus perkara perselisihan pajak, maka Dirjen Pajak mestinya menyusun sebuah sistem pengawasan yang melekat pada setiap aparat pajak. Apalagi rumor yang berkembang selama ini adalah pada tingkat KPP (account representative dan Pemeriksaan) relatif lebih bersih di bandingkan dengan Kantor Wilayah dan Pusat, dimana Lembaga Pengajuan Keberatan berada. Ada ketakutan yang dirasakan oleh aparat Pajak pada level Kantor Pelayanan Pajak (Account Represntative dan Pemeriksa), apabila menerima begitu saja keterangan wajib pajak, maka akan di curigai melakukan tindakan menyimpang, padahal logikanya, jika memang hasil pembetulan sesuai dengan data yang ada maka seharusnya hasil pemeriksaan di terima dan diterbit Surat Ketetapan Pajak (SKP). Namun, sayangnya karena Wajib Pajak, konsultan pajak (nakal) lebih senang membawa perselisihan perkara pajak kepada Lembaga Pengajuan Keberatan dan berakhir di Pengadilan Pajak, karena sudah di pastikan akan menang. Tak heran, di Pengadilan pajak adalah istilah Majelis Kering dan Majelis Basah, Wallahu’alam