Minggu, 25 Mei 2008

Kutulis Kemiskinan


Hari ini kutulis tentang kemiskinan
Kaum tertindas dan dhuafa
Kemelaratan dan kesengsaraan
Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan


Kata demi kata kugores dengan tinta air mata
Bercerita tentang bau keringat kaum kuli
Tentang gedung dan seragam sekolah yang tak terjangkau
Tentang bumbu dapur yang tak terbeli


Kutulis jutaan penganggur dipintu kubur
Tentang petani yang mati dilumbung padi
Tentang balita tanpa air susu
Tentang pedagang asongan yang diburu


Hari ini kulihat berjuta orang miskin
Berbaris, bersusun menuju kematian
Kulihat, seorang anak mati dipangkuan bapaknya
Berlari....karena tak ada uang untuk tanah kuburan


Hari ini kulihat, negeri tetesan sorga bagai neraka
Seorang ibu menanggis tak bersuara
Anak kecil mengusap mata tanpa air mata
Para Nelayan diam memandang laut
Petani menatap sawah diracuni pupuk kimia
Tukang becak dengan handuk kecil menyeka keringat


Hari ini kudengar, senandung pilu pengantar tidur sibuyung
Tongkat dan kayu jadi pentungan lapak-lapak dipinggir jalan

Polisi menghamili anak perempuan pak haji
Wow…koruptor bebas di pengadilan
Ada tentara menjadi anjing penjaga pemodal
Masya Allah, hakim, polisi dan Jaksa disuap


Hari ini aku berhenti menulis kemiskinan
Aku terdiam….tulangku rapuh
Kemiskinan…kemelaratan…kesengsaraan
Ketidakmampuan….ketidakberdayaan
Aku muak menulis semua itu….
Tinta air mata darah ku tlah habis


Jakarta, 2008




Jumat, 23 Mei 2008

Berantas Korupsi; benahi Birokrasi


Mendengar kata Birokrasi maka istilah ini akan selalu diidentikkan dengan ketidak efesienan. Lumrah saja, karena selama ini birokrasi di Indonesia merupakan alat kekuasaan (Bureaucratic Polity) bahkan sudah menjadi Bureaucratic Authoritarian. Dimasa lalu, birokrasi digunakan sebagai mesin otoritas dan mesin politik. Hal ini terjadi karena sistem sosio kultural dan sistem pemerintahan yang tidak demokratis sehingga menempatkan birokrasi pada peran tersebut. Akibatnya Birokrasi menjadi tidak efektif dan efesien. Tentu saja kondisi ini mempengaruhi relasi antara negara dan kepentingan warga negara.

Birokrasi sebagai alat kekuasaan terjebak pada pengambilan keputusan secara ekslusif yang dilakukan oleh aparat negara. Biasanya keputusan tersebut hanya mengguntungkan segelintir orang atau kelompok. Terutama yang memiliki akses politik dan ekonomi. Model seperti ini, kemudian melahirkan hubungan antara aparat negara dengan pelaku bisnis dan politisi berada dalam hubungan patron klien yang personal. Dan hal itu berarti bekerjanya mekanisme eksklusif politik dan ekonomi. Muaranya adalah hilangnya partisipasi, keadilan dan ruang publik untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan tersebut. Jika sudah demikian, maka transparansi dan akuntabilitas pemerintahan tidak ada. Alhasil, korupsi terjadi secara besar-besaran diberbagai sektor.

Komitmen Pemerintahan SBY-Kalla untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama, kiranya perlu mendapat acungan jempol dan apresiasi positif. Langkah kearah itu telah dimulai. Misalnya pembentukan Satgas Pemberantasan korupsi yang dikomandoi oleh Jampidsus Hendarman. Walaupun satgas ini belum memperlihatkan hasil kerja yang maksimal, tetapi satgas ini telah membangkitkan harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. Apalagi pemberantasan korupsi juga dilakukan oleh KPK yang semakin hari peformance dan kinerjanya makin dipercaya.

Dalam beberapa kesempatan SBY maupun Jaksa Agung sering mengungkapkan betapa sulitnya memberantas korupsi yang sudah mengakar dalam tubuh pemerintahan. Kita juga memaklumi hal ini, karena memberantas korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tentu saja para koruptor atau kelompok yang selama ini menikmati sistem yang korup akan melakukan resistensi. Jika melihat “kekuatan“ para koruptor ini sudah barang tentu kita harus melihat seperti apa sistem dan budaya birokrasi kita. Karena bagaimanapun juga kita harus jujur melihat bahwa korupsi terjadi tidak berdiri sendiri pada satu kaki saja, tetapi korupsi terjadi karena adanya persekongkolan jahat yang dilakukan oleh politisi, pebisnis, partai politik, Tentara dan birokrasi.

Idealnya, Birokrasi adalah sebuah institusi netral. Kewenangan-kewenangan yang melekat padanya bisa digunakan untuk maksud baik atau buruk Dalam prakteknya, penyalahgunaan wewenang dalam lingkungan birokrasi selalu ada. Dan korupsi adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan birokrasi. Tindakan korupsi dari para birokrat pada tingkat awal merupakan gambaran tentang ketiadaan integritas mereka sebagai abdi negara dan abdi rakyat. Pada tingkat kedua ia merupakan pelecehan terhadap etika dan hukum yang berlaku. Akibat paling ringan dari korupsi adalah terganggunya proses administrasi dan yang paling berat adalah bubarnya negara. Terjadinya korupsi yang luas dalam lingkungan pemerintahan bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri. Paling tidak, keadaan itu mengimplikasikan tidak sehatnya administrasi pemerintahan, lemahnya pengawasan politik terhadap penyelenggaraan kekuasaan pemeribntahan, tidak efektifnya penegakan hukum, tiadanya integritas aparatur dan rendahnya moralitas mereka.

Korupsi dikalangan birokrat tentu akan menghancurkan wibawa pemerintah dari dalam dan menghilangkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Dalam situasi dimana kepercayaan rakyat sudah tidak ada lagi, maka efektivitas pemerintahan pun akan goyah, kalaulah tidak hancur. Oleh karena itu, pembenahan birokrasi harus menjadi pilihan untuk mengurangi dan memberantas korupsi. Artinya betapapun sulitnya, pemerintah harus mengambil langkah ini demi kelangsungan hidup pemerintahan dan keselamatan negara.

Pembenahan Birokrasi bisa dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, melakukan evaluasi secara jujur terhadap efektifitas dan efesiensi birokrasi selama ini. Langkah ini berkaitan erat dengan jumlah personil (birokrat), wilayah kerja, sektor pelayanan yang ditangani serta output yang dihasilkan selama ini. Hasil evaluasi ini bisa dijadikan acuan menyusun sistem manajemen birokrasi. Langkah evaluasi ini harus melibatkan tim indenpenden yang memiliki kapasitas dan keahlian serta profesional dalam melakukan evaluasi. Tim ini dalam melaksanakan tugas akan berkoordinasi dengan Sekretariat Negara dan Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN). Keanggotaannya bisa saja wakil pemerintah dan civil society. Tetapi yang terpenting adalah mereka melakukan evaluasi secara netral dan jujur tidak terpengaruh oleh kelompok kepentingan apapun diluar kepentingan pembenahan birokrasi. Kedua, menyusun formulasi sistem manajemen birokrasi. Harus disadari bahwa Birokrasi lahir dan dibentuk karena kebutuhan masyarakat untuk dilayani. Artinya birokrasi yang lahir karena kebutuhan masyarakat (rational bereaucratic) ini ditekankan bahwa masyarakatlah yang menentukan bukan hanya keberadaan dari birokrasi itu sendiri namun juga termasuk corak birokrasi yang dikehendaki. Dengan demikian, dalam menyusun sistem manajemen Birokrasi perlu keterlibatan publik secara luas. Keikutsertaan publik secara luas ini diharapkan akan memudahkan menyusun apa saja yang penting dan utama dalam memberikan pelayanan. Tentu, partisipasi harus berbanding lurus dengan efektifitas karena pemerintahan harus terus bekerja dan memberikan pelayanan pada masyarakat. Dalam membangun sistem manajemen Birokrasi ini harus selalu berorientasi pada penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan akan mendorong berfungsinya peran dan kinerja yang baik dari birokrasi. Penguatan yang dimaksud meliputi struktur dan mekanisme kerja yang efektif dengan dukungan sumber daya yang memadai termasuk sarana dan prasarana. Ketiga, mengefektifkan Sumber daya Manusia (birokrat). Langkah ini akan berkaitan erat dengan: 1) optimalisasi jejaring kerja, birokrasi memiliki skala kerja yang sangat luas karena menyangkut pelayanan secara nasional. Untuk itu perlu melakukan evaluasi terhadap kantor-kantor perwakilan didaerah serta membangun model komunikasi dan koordinasi yang memudahkan melakukan kontrol dan deteksi terhadap penyimpangan. 2) pemanfaatan personil terbaik dan multidisiplin. Pada tingkat operasional, kinerja Birokrasi harus didukung oleh profesional dari berbagai latar belakang disiplin ilmu pengetahuan. Hal ini diperlukan mengingat tugas birokrasi menyangkut berbagai hal yang cukup kompleks. 3). Menerapkan merit based system, birokrasi sebagai organisasi tentulah harus mencapai hasil yang terbaik. Untuk mencapai hal tersebut, organisasi bisa menerapkan reward and punisment system sesuai dengan tugas, keahlian, profesionalisme masing-masing personil. Selain itu tentu saja kejelasan jenjang karier perlu mendapat perhatian, sehingga dapat memacu dan memberikan rasa aman bagi semua personil. 4) membangun budaya kerja yang kondusif, Birokrasi yang memiliki peran besar dan strategis harus sejak awal membangun budaya yang kondusif. Budaya kerja yang dimaksud meliputi: semangat kerja yang tinggi, disiplin, kejujuran, kompetensi, kompetisi yang sehat dan sterusnya. Yang terpenting dalam membangun budaya kerja yang kondusif adalah mengefektifkan kepemimpinan dengan mengutamakan keteladanan. Keempat, proses rekrutmen yang transparan. Proses rekrutmen harus dirancang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan adanya birokrasi. Sistem rekrutmen harus memberikan peluang yang sama bagi semua orang untuk ikut terlibat untuk mengisi kekosongan di birokrasi. Ada beberapa prinsip yang mestinya menjadi prinsip dalam rekrutmen calon birokrat yaitu: 1) Transparan, yaitu kriteria dan proses seleksi yang jelas dan terbuka. Transparan yang dimaksudkan dalam proses ini adalah mengenai metode dan teknik, kriteria, proses pengambilan data calon, proses analisa dan integrasinya dari alat ukur yang digunakan. 2) Akuntabel, yaitu menggunakan metode dan teknik seleksi yang bisa dipertanggungjawabkan. Akuntabilitas disini bisa dilihat dari pemilihan alat ukur yang dapat secara tepat mengukur/memberikan data sesuai dengan kriteria/kompetensi yang dibutuhkan. Selain itu proses pencatatan dan pengolahan data calon harus bisa meminimalisir subjektivitas. 3) Adil, yaitu semua calon melewati proses yang sama. Rasa keadilan dalam proses seleksi memiliki korelasi yang sangat tinggi terhadap terjamin dan terjaganya harga diri dan rasa aman si calon.

Dengan melakukan pembenahan pada birokrasi ini, diharapkan akan semakin menaikkan citra pemerintah di mata publik. Karena pembenahan ini akan memberikan impact pada kinerja dan efesiensi serta birokrasi yang professional. Tentu ini bisa mengurangi kecurangan (Korupsi) dalam pemerintahan. Selain itu, pembenahan ini merupakan investasi politik bagi SBY untuk masa yang akan datang.

Penulis adalah peneliti masalah transparansi pengelolaan Dana Publik, Berdomisili di Bintaro, Banten

Kamis, 22 Mei 2008

Sudahlah Tuan


Pertiwi kembali dilukai
Republik ini semakin gerah
Debu menyelimuti setiap ranting pohon hati kita
Wow…ada kyai berkotbah tentang kesabaran


Bersabar dengan kemalaratan
Bersenggama dengan kebodohan dan kegilaan
Ini keadilan, seru sang Jurubicara
Gila...gila..sungguh ini keterlaluan


Ini demokrasi Bung!!
Rakyat miskin harus dibela, kata sang Profesor
Kita krisis BBM, teriak sang Presiden
Berhematlah.....Kita defisit anggaran


Ini krisis mu wahai tuan pemodal
Sungguh kami tidak terlibat dengan krisis nan tercipta
Bukankah kau tlah membabat hasil hutan kami?
Bukankah kau tlah merusak terumbu karang kami?


Kau tlah minum minyak kami untuk industrimu
Sementara bayi-bayi kami minum limbah kimiamu
Kau katakan ini globalisasi dan demokrasi
Sementara kami berebut roti basi

Kau tlah rampas lumbung uang kami
Sementara dengan air mata darah kami menghitung rupiah
Kau sebut kami negeri maling
Sementara kami kau paksa untuk berutang


Kau sebut semua ini inefesiensi
Agar kami jual air dan tanah kami padamu
Kau datang dengan topeng kebebasan
Agar kau bisa penjara kami dengan harga gilamu


Wahai tuan! Sungguh busuk aroma teorimu
Kami tidak butuh demokrasi dan globalisasi mu
Kami tak butuh efesiensi dan privatisasimu
Kami tak butuh rasa kemanusiaan yang gila


Wahai tuan, kami tak butuh bahan kimia mu
Bawa pergi mesin teknologimu
Buang jauh-jauh nuklir dan mesin perang mu
Kuburlah bersama mayat-mayat kapitalismu


Wahai tuan, dengan pacul dan arit kami bisa panen
Dengan tai dan debu kami bisa menyuburkan tongkat kayu
Kami punya sapi dan domba untuk diperas susunya
Jaring dan dayung kami masih kokoh mengarungi samudera


Wahai Tuan, kami tidak pernah merusak tanah dan anakmu
Kami tidak pernah menjerat bangsamu dengan hutang
Kami tidak pernah memaksa menjual bank dan pabrikmu
Kami tidak pernah merampas roti dan keju mu


Wahai tuan, berhentilah...
Jangan teruskan kegilaanmu pada kami
Kami biasa santun dan lemah lembut
Tapi juga biasa dengan darah dan kekerasan


Jakarta, 2008

Subsidi edan



Uang ini untuk mu wahai kaum miskin
Dengannya kau bisa sejahtera
Tukarlah baju dan celanamu nan usang
Gantilah gaple mu dengan beras


Ups..hemat, jangan boros
Uang itu hidupmu berbulan-bulan
Bijaksanalah ditengah harga selangit
Karena kami peduli dengan mu wahai kaum disayang Allah


Jangan cemas BBM naik
Jangan takut barang-barang mahal
Karena kami berbaik hati memberimu subsidi
Kami dipihakmu wahai kaum terlunta-lunta


Jangan protes dan kecewa
Karena harga dunia melambung
Bersabarlah dengan air mata
Tidurlah diatas sajadah kusam mu


############################

Mener dan mister tetaplah berusaha
Jangan takut rupiah jeblok
Kami akan melelang cadangan devisa
Dolar di bank sentral akan kami obral


Jangan takut berinvestasi
Tentara kami siap menjadi anjing penjaga assetmu
Peluru prajurit kami untuk rakyat pengacau
Agar mener dan mister aman dari perusuh


Jangan takut dengan demontrasi mister
Mahasiswa kami tak berani karena uang kuliah mahal
Jika kau curi uang di bank mu, jangan kabur
Kami akan berikan dana rekapitulasi


Kami akan terbitkan dana obligasi
Jangan gundah mister, ada tax holiday
Kami jamin kebobrokan mener tidak dipentung
Karena mener dan mister adalah pembangunan


Jangan takut kesenjangan ini
Kaum miskin sudah terlelap dengan subsidi
Mener dan mister silahkan menikmati fasilitas kami
Kita mulai pesta keserakahan ini.


Jakarta, 2008

Bermunajat; jangan berharap


Istriku, BBM naik lagi
Lihatlah, di jalanan mahasiswa berdemontrasi
Lawan..lawan…tidak adil…
Perlahan hilang bersama suara bajaj


Ini kebijakan yang tepat dan adil
Subsidi langsung untuk rakyat miskin


Istriku, BBM naik lagi
Rawatlah kandunganmu dengan doa dan zikir
Karena tahu dan tempe mencuat tinggi
Dihalaman masih ada kangkung, itu baik untuk kandunganmu


Ini untuk mengurangi penyelundupan
Ini Mengurangi beban APBN


Istriku, pergilah kedukun karena dokter mahal
Petik dedaunan, itu baik pengganti obatmu yang hilang
Berhentilah meratap, didapur masih ada garam dan segelas beras
Jangan mengeluh, kita bisa jalan kaki karena bensin motor mahal


Ini berpihak pada rakyat miskin
Demi kesejahteraan bersama


Istriku, jangan memaki dan mengumpat
Ini demi liberalisasi dan globalisasi
Ini demi mener investor pompa bensin
Ini demi IMF, Word Bank sang penolong krisis


Ini mengurangi kemiskinan
Meningkatkan kesejahteraan rakyat


Istriku, jangan bicara kemelaratan
Karena mereka lebih tahu menciptakan kemelaratan
Dengarkan saja, mereka bicara kesejahteraan dan adilnya kesejahteraan
Simaklah, mereka bicara keadilan dan kepedulian


Kami punya strategi yang jelas
Kami mengerti keadaan rakyat miskin


Istriku, mereka telah tulis ribuan buku tentang kemiskinan
Mereka telah terbitkan jutaan cara melawan kemelaratan
Lihatlah…lihatlah…Disamping istana mereka,
Seorang ibu meratap karena anaknya merengek minta tempe kesukaannya
Istriku, perhatikan diujung jalan sana
Anak-anak tidak sekolah karena tidak ada uang buat beli permen
Di depan warung, ibu-ibu menggerutu karena tidak bisa beli cabe
Lihatlah dengan mata hatimu, pedangang mie tidak lewat hari ini


Semua rakyat akan memahami kenaikan ini
Bantuan akan disalurkan dengan tepat sasaran


Istriku, jalan kakilah kepasar
Abang becak tidak narik hari ini
Jangan naik angkot atau bis
Uang ongkos lebih baik ditabung untuk beli susu anak kita


Istriku, bertahanlah…..
Jangan mengeluh....jangan memaki....jangan mengumpat....
Bersujudlah pada malam hari di atas sajadahmu
Bermunajatlah.....jangan berharap....

Jakarta, 2008

Senin, 19 Mei 2008

Dilema BBM


Akibat salah dalam menetapkan asumsi harga minyak dalam penyusunan APBN, akhir-akhir ini pemerintahan SBY kelabakan dengan kenaikan harga minyak dipasar dunia. padahal kenaikan harga minyak dipasar dunia, bukanlah hal yangbaru dan tiba-tiba. tetapi tren kenaikan harga tersebut telah terjadi secara gardual dari tahun 1997. Sayangnya, pemerintahan SBY tidak pernah mau jujur dan secara terbuka bahwa "beban" APBN yang semakin berat akibat kenaikan harga minyak dipasar dunia, salah satunya disebabkan oleh "kesombongan dan egoisme" pemerintah dalam menyusun aumsi harga minyak dunia.

Sekarang pemerintahan SBY berencana menaikkan harga BBM bersubsidi, sayangnya alasan kenaikan ini akibat kenaikkan harga minyak dipasar dunia. ironis ya... seolah-olah pemerintahan SBY telah bekerja dengan baik, tetapi karena gejolak harga minyak di pasar dunia, Pemerintahan SBY meminta pengertian dari rakyat.

Padahal, beban APBN yang semakin berat karena subsidi BBM, murni kesalahan pemerintah dalam perencanaan dan penyusunan APBN. saya tidak mau berdebat, pro kontra rencana kenaikkan harga BBM. tetapi kenapa pemerintahan ini tidak mau jujur???? tanya kenapa?
Ketidak jujuran ini kemudian ditambah dengan "mimpi" baru untuk rakyat miskin yaitu bantuan langsung tunai (BLT).

mestinya, jika memang harga BBM harus naik, jika pemerintah merencanakan dengan baik maka:
1. APBN tahun sekarang mestinya lebih fokus pad program-program peningkatan ekonomi rakyat kecil.
2. Secara perlahan fungsi BULOG dikembalikan dalam kerangka mengontrol harga bahan pokok -yang pasti harganya naik- akibat kenaikkan harga BBM. misalnya harga gabah dipasar dunia sekarang lagi tinggi. semestinya pemerintah melalui BULOG membeli harga gabah petani sesuai harga pasaran dunia. kemudian BULOG menjual kepasar lokal dengan harga terjangkau. misalnya harga beras dipasr dunia Rp. 7000/kg, maka pemerintah (BULOG) membeli harga gabah petani 7000/kg, kemudian BULOG menjual beras tersebut ke masyarakat harga Rp. 4000/kg. selisih kerugiannya diambil dari anggaran subsidi BBM. ini mungkin lebih bermanfaat bagi masyarakat kecil dari pada BLT.

Rabu, 14 Mei 2008

Pemilihan Kepala Daerah - Arogansi Elit

Pemilihan Kepala Daerah - Arogansi Elit
Oleh: Mahmuddin Muslim
Berpolitik.com - Rabu, 17 September 03

Kita telah menyaksikan pertunjukan dramatis pemilihan Gubernur Bali dan beberapa daerah. Pro dan kontra mewarnai proses sebelum maupun pasca pemilihan dengan berbagai atribut atas nama rakyat, demokrasi dan mungkin masih banyak lagi atribut yang dikedepankan. Hasilnya, sekali lagi “keadilan” belum berpihak pada masyarakat, dia masih menjadi milik elit yang memiliki kekuasaan dan uang. Rasionalitas demokrasi dalam proses pemilihan itu dipermainkan sedemikian rupa sehingga atas nama prosedur demokrasi pemilihan itu dianggap dan bahkan dipaksakan untuk memenuhi asas-asas transparansi, akuntabilitas dan sesuai dengan tata tertib.

Pemilihan Gubernur Jakarta, Sumsel, Jawa tengah, Bali dan daerah lainnya, yang gaungnya menasional mempetontonkan proses politik yang tidak mempunyai “moral demokrasi.” Isu tawar menawar politik dan money politic kental mewarnai proses pemilihan Gubernur. Protes dari masyarakat luas dan Civil Society Organization tidak didengar oleh anggota DPRD Terhormat. Anggota DPRD sebagai representasi suara masyarakat sibuk dengan hitungan rekening pribadi dan penyelamatan kursi Dewan. Hasilnya, masyarakat luas dirugikan dengan permainan politik yang terjadi. Gubernur terpilih tanpa publics acceptabilities. Lalu dimanakah legitimasi Pejabat Publik tanpa publics acceptabilities?. Apakah Pejabat Publik yang demikian yang seharusnya ada di era reformasi sekarang ini? Proses pemilihan Gubernur Jakarta, Sumsel, Jawa tengah dan Bali, sekali lagi telah memberikan contoh yang buruk bagi proses politik di Indonesia. Formalitas Demokrasi yang dilakukan anggota DPRD telah menghilangkan substansi dari proses politik pemilihan Pejabat Publik dan juga publics acceptabilities. Masihkah kita akan tetap mempertahankan Formalitas Demokrasi yang ada sekarang ini ataukah kita harus mengubahnya demi Indonesia yang lebih baik?
Belajar dari kasus Pemilihan Gubernur Bali dan beberapa daerah yang berlangsung beberapa waktu lalu, ada beberapa hal yang patut dicatat :
1. Sistem Kepartaian
Dalam sistem politik kita saat ini, wakil rakyat yang duduk di legislatif dipilih berdasarkan mekanisme pemilihan partai. Dengan demikian wakil-wakil rakyat lebih bertanggungjawab kepada partai/pimpinan partai daripada kepada konstituen. Kasus Pemilihan Gubernur Bali beberapa waktu lalu terasa sekali betapa kuatnya pengaruh Partai, terutama partai besar dalam menentukan calon Gubernur. Bahkan fraksi di DPRD yang seharusnya lebih mengetahui kondisi daerah dan siapa yang harus memimpin daerah, harus kalah dengan kebijaksanaan partai di tingkat pusat.

2. Masalah Akuntabilitas Publik
Konsekwensi dari pemilihan wakil melalui mekanisme pemilihan partai adalah lemahnya pertanggungjawaban publik pada setiap keputusan politik.. Hal ini karena pertanggungjawaban wakil rakyat tertuju kepada Partai dari pada konstituen. Anggota DPRD Bali sebagai panitia pemilihan maupun pemilih lebih takut dengan sanksi partai dibandingkan dengan pertanggungjawabannya di muka publik, karena mereka tidak merasa sebagai milik publik tetapi nasib mereka lebih banyak ditentukan oleh partai.

3. Sistem Pemilihan Pejabat Publik
Sistem pemilihan Pejabat Publik tidak langsung cenderung akan mendistorsi proses rekrutmen pemimpin publik yang baik, selain juga menjauhkan pemimpin dari konstituennya. Deal politik yang terjadi antara pemimpin partai dan calon Gubernur lebih dapat menentukan seorang calon untuk memenangkan pemilihan. Selain itu juga ditunjang adanya money politic yang akan dapat merubah pilihan seorang anggota DPRD terhadap calonnya. Akhirnya dengan mekanisme rekrutmen Pejabat Publik yang ada sekarang ini, kalau harapannya mendapatkan pemimpin yang kompeten, mempunyai integritas, jujur, dan adil ibaratnya “jauh panggang dari api.” Mungkin pemilihan langsung kepala daerah adalah alternatif untuk mengeleminasi politik uang dan arogansi elit dan pusat.

4. Code of Conduct Pejabat Publik
Belum adanya standar Code of Conduct dalam pemilihan Pejabat Publik di Indonesia menyebabkan rekrutmen pemimpin di Indonesia belum terarah. Tarik menarik politik dan kepentingan lebih mewarnai dibandingkan dengan tujuan untuk mendapatkan pemimpin yang kompeten, mempunyai integritas, jujur dan adil. Tata tertib pemilihan Gubernur dipermainkan oleh anggota DPRD maupun Panitia Pemilihan untuk melegitimasi proses pengegolan calon yang sudah melakukan deal dengan mereka. Dengan tata tertib seluruh proses pemilihan Gubernur direkayasa sesuai dengan deal politik yang sudah disepakati antara panitia pemilihan, pemilih, dan yang dipilih. Oleh karena itu tata tertib yang sifatnya relatif di setiap tempat, kesempatan dan waktu tidak bisa lagi dijadikan acuan pemilihan Pejabat Publik. Untuk itu, diperlukan Code of Condact yang sifatnya baku dan permanen untuk mendapatkan pemimpin yang betul-betul mewakili aspirasi masyarakat dan membawa kepentingan masyarakat.

Keempat hal tersebut diatas merupakan sedikit jawaban yang diharapkan bisa memberikan jalan keluar bagi proses pemilihan Pejabat Publik dikemudian hari.

Mahmuddin Muslim
·Peneliti Pada Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)

Pilkada; Formalitas Politik atau Alat demokrasi?

Sejak beberapa tahun terakhir, dipelbagai daerah telah melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Pemilihan langsung Gubernur atau Walikota/Bupati yang telah dilaksanakan selalu saja menuai kritik dan perdebatan oleh berbagai kalangan. Lumrah saja, karena masih banyak kelemahan dalam Undang-undang yang memberi peluang terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada, sehingga tak heran banyak konsestan yang kalah merasa tidak puas.

Terlepas dari kelemahan yang ada dalam undang-undang Pilkada, harus diakui bahwa sebagai salah satu prosedur demokrasi, pelaksanaan Pilkada selain bisa menghasilkan pemimpin yang berwibawa tetapi juga berpeluang menciptakan kekerasan politik. Pelaku kekerasan ini bisa dilakukan oleh struktur negara atau masyarakat. Kekerasan politik yang dilakukan oleh negara bisa dikategorikan dalam state violence. Dalam kategori ini, negara secara institusional, melakukan tindak kekerasan. Pelakunya mulai dari birokrasi, militer, pengadilan, KPU, Panwas atau pelaku lain yang bukan berasal dari birokrasi tetapi “digunakan“ oleh negara.

Kekerasan ini yang oleh Althusser, dianggap sebagai repressive state appraratus yaitu tindakan pemerintah, militer, polisi, pengadilan dan sebagainya dalam bentuk kekerasan struktural. Menurut Galtung, kekerasan struktural adalah segala sesuatu yang menyebabkan masyarakat terhalang mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Dalam kontek state violence, penghalang tersebut dibuat oleh struktur negara (KPUD, Militer, polisi, Mendagri, Panwas dan Pengadilan Tinggi). Kondisi ini bisa diteliti mulai dari aturan main (undang-undang), netralitas birokrasi, peluang yang sama untuk berkompetisi dan perhitungan suara yang jujur.

Sementara kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat (mass violence atau societal violence) biasanya berbentuk horizontal. Pelakunya biasanya adalah sesama pendukung kontestan. Kekerasan ini biasanya bisa diselesaikan dengan mekanisme lokal yang disepakati antar pemimpin atau calon yang didukung. Selain itu, kekerasan ini bisa diselesaikan melalui mekanisme peradilan pidana terhadap pelanggaran dan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat. Para pelaku bisa dijerat pasal-pasal tindak pidana. Sudah barang tentu jika terbukti bersalah, maka pengadilan bisa menjatuhkan vonis kepada pelaku.

Sumatera Barat telah melakukan beberapa Pilkada, baik pemilihan langsung Gubernur maupun Bupati/walikota. Mencermati pelaksanaan Pilkada yang telah dan yang akan berlangsung, kritikan dan protes selalu saja mengiringi pelaksanan dan hasil Pilkada tersebut. Ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu; pilkada sebagai formalitas politik atau pilkada sebagai alat demokrasi. Tentu Pilkada yang telah dan akan dilaksanakan di Sumatera masuk kategori yang mana, pilihannya ada pada kita untuk menjawabnya, terutama pihak yang terlibat dalam Pilkada (kontestan, KPUD, Panwasda, Mendagri dan Pengadilan). Jika, pilkada hanya sebagai formalitas politik belaka, maka pilkada hanya dijadikan alat untuk melegalisasi pemerintahan (gubernur/walikota/bupati) yang tidak demokratis.

Dalam kategori ini, Gubernur/walikota/bupati terpilih lebih merupakan hasil rekayasa birokrasi dan uang. Sehingga apa yang dikatakan oleh Marxisme dengan teori alienasi akan terjadi. Teori ini menjelaskan bagaimana masyarakat merasa terasing oleh keadaan sesungguhnya yang menimpa dirinya. Jika alienasi yang terjadi, tentu saja akan menjauhkan pemerintahan (Gubernur/Walikota/Bupati) terpilih dari warganya. Alhasil, pemerintahan yang terpilih berpeluang menciptakan penyimpangan. Dengan sendirinya, akuntabilitas, transparansi serta partisipasi masyarakat akan hilang dalam pengelolaan pemerintahan. Korupsi, kolusi dan nepotisme dengan sendirinya terjadi dan meluas disekujur tubuh pemerintahan tanpa ada yang bisa mengawasi dan melakukan kontrol.

Jika ini yang terjadi, maka kita akan kembali mundur ke masa yang lalu, dimana semua kebijakan dirumuskan dan ditetapkan secara ekslusif oleh birokrasi. Dapat dipastikan, kebijakan tersebut berpihak pada sekelompok orang (politisi dan bisnis) yang memiliki akses pada pemerintahan terpilih. Maka mekanisme ekslusif politik dan ekonomi berulang kembali, yang muaranya adalah hubungan patron client personal antara Gubernur/walikota/bupati dengan politisi dan pebisnis.

Sebaliknya, jika pilkada sebagai alat demokrasi, maka pilkada akan dijalankan secara jujur, bersih, bebas, kompetitif dan adil. Gubernur/walikota/bupati (in-cumbent) yang memfasilitasi pelaksanaan Pilkada melalui KPUD, bisa saja malah menumbangkan kekuasaannya sendiri karena kalah dalam Pilkada tersebut. Misalnya seorang walikota yang mengikuti pilkada, bisa saja kalah oleh kontestan pendatang baru karena rakyat memilihnya. Seharusnya walikota tersebut menunjukkan kebesaran jiwa dan ketauladanan dengan memberikan dukungan kepada pemenang. Jika ada sengketa hasil pilkada, maka Pengadilan tinggi sebagai lembaga pemutus perkara haruslah bersikap netral, adil dan sesuai dengan bukti dan fakta yang ada.

Sehingga pihak yang bersengketa, bisa dengan lapang dada menerima hasil keputusan pengadilan tersebut. Di beberapa daerah, hasil Pilkada banyak yang digugat melalui pengadilan tinggi. Ada yang materi gugatannya ditolak oleh Pengadilan Tinggi tetapi ada juga yang diterima. Kasus sengketa Pilkada Depok, Maluku Utara dan Sulawesi Selatan bisa dijadikan contoh untuk tidak diulangi dalam Pilkada yang akan dilaksanakan di beberapa kota/kabupaten di Sumatera Barat. Sengketa pilkada yang diselesaikan melalui Pengadilan tinggi ternyata tidak bisa menyelesaikan sengketa tersebut. Mestinya Pengadilan sebagai aparatus negara harus secara jujur dan adil memutus perkara sengkata Pilkada ini.

Semua pihak yang bersengketa harus diberikan porsi yang sama dalam menyampaikan argumen, data, bukti dan fakta sesungguhnya. Tentu, data, bukti, fakta dan argumentasi yang disampaikan harus diuji validitasnya oleh hakim. Disinilah netralitas Pengadilan sebagai salah satu unsur negara dipertaruhkan. Jika tidak bisa berlaku netral, maka keputusan Pengadilan tersebut bisa mencoreng kualitas demokrasi suatu sistem politik. Pertimbangan dan keputusan yang salah dari pengadilan akan menjadi catatan kekerasan Negara (state Violence) dalam Pilkada. Selain itu, KPUD sebagai pelaksana Pilkada juga banyak mendapat sorotan. Masalah yang disorot adalah penetapan calon yang lolos ikut berkompetisi, penetapan jumlah pemilih (banyaknya pemilih yang tidak terdaftar), distribusi kertas suara, pelaksanaan pemungutan suara dan penetapan pemenang pilkada.

Agar pilkada yang akan dilaksanakan (Kota Pariaman, Padang Panjang, Padang dll) tidak terjebak pada formalitas politik belaka, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu Pertama, adanya pengakuan yang sama terhadap hak pemilih dan dipilih. Dalam beberapa kasus sengketa pilkada, jumlah pemilih dan pemilih yang sah selalu menjadi sengketa. Untuk menghindari hal tersebut, maka KPUD harus secara serius dan teliti dalam melakukan pendataan pemilih. Sikap hati-hati dan teliti akan menghindari terjadinya pemilih ganda, pemilih dari daerah lain atau pemilih yang kehilangan hak suara. Selain itu, dalam menentukan calon kontestan yang berhak mengikuti Pilkada sudah barang tentu harus dilandasi oleh sikap jujur, adil dan netral.

Sehingga calon yang lolos atau tidak lolos, ditentukan dengan melakukan penelitian yang sungguh-sungguh, mulai dari ijazah pendidikan formal, dukungan partai, domisili dan sebagainya. Kedua, ada keleluasaan bagi kontestan berkompetisi secara sehat. Syarat ini bisa dipenuhi jika aparat negara (KPUD, Birokrasi, Militer, Polisi dan Pengadilan) bersikap netral. Dalam kompetisi pilkada, aparatus seharusnya hanya menjadi fasilitator, sekaligus sebagai wasit yang adil. Tidak ada perlakuan istimewa bagi kontestan manapun. Semua diperlakukan sama sesuai perundang-undangan, tanpa melihat latar belakang lingkungan, pendidikan, agama, kesukuan dan partai politik yang mencalonkan. Selain itu, aparatus negara harus berlaku tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kontestan.

Sekecil apapun pelanggaran harus diberikan tindakan hukum, apalagi pelanggaran yang besar seperti pemalsuan ijazah atau politik uang. Ketiga, Ada kebebasan pemilih dalam mendiskusikan dan menentukan pilihan. Hanya kontestan yang memiliki visi dan misi serta program kerja yang sesuai dengan keinginan masyarakat pemilih yang akan mendapat dukungan suara. Oleh karena, itu pendidikan kritis bagi masyarakat penting dilakukan oleh negara. Jika tidak, maka pemilih akan terjebak pada janji-janji dan pepesan kosong jargon politik kontestan. Apalagi, jika kekuatan uang digunakan oleh kontestan untuk membeli suara tersebut.

Keempat, indenpendensi KPUD sebagai pelaksana Pilkada. Indenpendensi ini bisa dibangun jika anggota KPUD beserta jajarannya dalam menjalankan tugas dan fungsi bersikap jujur, netral, bersih, profesional dan adil. Meraka harus bisa melepaskan semua kepentingannya kecuali kepentingan untuk melaksanakan pilkada secara jujur, bersih, kompetitif dan adil. Sehingga pilkada bisa menjadi sebuah proses demokrasi yang beradab dan beretika. Kelima, Lembaga Peradilan yang profesional. Sebagai lembaga yang memutuskan perkara sengketa politik, maka peradilan harus bisa memberikan peluang yang sama bagi kontestan yang bersengketa.

Mulai dari penyampaian argumentasi, data, bukti dan fakta serta saksi semua pihak yang bersengkata diberi kesempatan yang sama. Netralitas ini penting karena lembaga ini sangat menentukan hasil pilkada yang bersengketa. Apalagi putusan Pengadilan bersifat final, kecuali ada bukti baru untuk dilakukan peninjauan kembali oleh Makamah Agung. Dalam memutuskan perkara pilkada hakim harus rasional, sesuai bukti dan fakta yang ada dan harus bisa memenuhi rasa keadilan. Dengan demikian sengketa pilkada bisa diselesaikan dengan beradab dan dapat diterima oleh semua pihak.

Jika beberapa pilkada yang akan dilaksanakan di Sumatera Barat bisa menjadi alat demokrasi, maka pilkada bisa dijadikan alat ukur yang valid untuk menentukan kualitas sistem demokrasi kita. Selain itu dengan pelaksanaan pilkada yang demokratis, tentunya diharapkan akan mendorong terbentuknya democratic local governance. Dengan demikian, ruang partisipasi akan terbuka, pemerintah daerah akan mudah ”dijangkau“ oleh warga, pembangunan yang adil, transparansi dan akuntabilitas pemerintah tinggi serta penyakit korupsi bisa dieliminir. Tetapi jika Pilkada hanya sebagai formalitas politik belaka, maka apa yang dikatakan oleh Helder Camara dalam the spiral of violence mungkin akan berulang di Indonesia. Wallahu’alam (***)

Mahmuddin Muslim, Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia