Rabu, 26 Mei 2010

Kasus Susno Duadji; Lakon Rahwana??

Beberapa bulan belakangan ini, kita disuguhkan dengan berbagai berita yang tersaji langsung di ruang publik bahkan tak jarang memasuki ruang-ruang pribadi kita. Misalnya kasus mafia pajak yang kemudian beralih menjadi kasus penangkapan Susno. Heran juga, kok pak Susno yang menyampaikan kasus mafia pajak dan ikan arwana kok malah "kesandung" menjadi salah satu tersangka. Saya jadi teringat kasus Endin ditahun 2000-an. Endin ketika itu juga membongkar mafia hukum yang menggerogoti sekujur tubuh lembaga penegakan hukum, ketika itu Endin juga di tangkap dan dijadikan tersangka dan divonis bersalah di Pengadilan dengan dakwaan melakukan pencemaran nama baik.

Sekarang, kasus "krimalisasi" whistle blower (peniup peluit) kembali berulang dengan modus dan cara yang sama. Jika Endin dijerat dengan dakwaan pencemaran nama baik, maka susno di jerat sebagai tersangka dengan dugaan ikut menerima uang suap Rp. 500 juta dalam kasus ikan arwana (yang terbaru Susno juga akan dijerat dengan Kasus Dana pengamanan PILKADA Jawa Barat, 2008). Sebagai polisi tentu saja, Susno berpotensi terlibat dalam praktik mafia hukum yang terjadi dalam kasus ini. Karena memang saat itu (sebelum non aktif) Susno adalah Kabareskrim Mabes polri. "potensi" ini yang digunakan oleh para "lawan" Susno untuk melakukan serangan balik terhadap beberapa kasus mafia hukum yang di buka oleh Susno dalam beberapa kesempatan. Jika menggunakan logika umum (artinya penegakan hukum berjalan normal-tanpa mafia) maka kasus Susno jadi tersangka menjadi hal yang biasa saja dan tidak akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan besar dari publik. Sayangnya, kasus ini mencuat ketika mafia hukum sangat berkuasa dalam proses hukum di Indonesia. Tak heran, tindakan Polri menjadikan Susno sebagai tersangka mendapat reaksi (perlawanan) dari publik. Apalagi kasus mafia hukum yang dibuka oleh Susno sepertinya jalan di tempat (jika tidak mau dikatakan diabaikan oleh Polri). Lihat saja, kasus Gayus (mafia pajak) para petinggi Polri dan Kejaksaan serta pihak lain yang terlibat belum tersentuh proses hukum. Para "jenderal" Polri yang diduga terlibat dalam mafia hukum kasus pajak ini, "hanya" diperiksa oleh badan internal Polri yang berkaitan dengan profesionalisme. Mestinya, jika Polri mau serius dan itu baik untuk perbaikan citra Polri yang sudah "hancur" di mata publik, maka "jenderal" Polri yang terlibat harus segera ditindak secara hukum melalui proses hukum yang cepat dan terbuka pada publik. Harapan agar Polri mendahulukan proses hukum para "jenderal" yang diduga terlibat inilah yang tidak dapat dipenuhi oleh Polri. Jika demikian, maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi: Pertama, Polri belum profesional dalam melakukan penegakan hukum. Kondisi ini karena diduga masih banyak kelompok atau orang-orang di internal Polri yang belum siap (mau) berubah. Kelompok ini, adalah orang-orang yang selama ini "menikmati" kenyamanan dalam lingkaran mafia hukum. Kedua, diduga ada sekelompok oknum yang merasa "tersinggung" dengan kasus mafia hukum yang di buka oleh Susno. Mafhum saja, kasus mafia hukum yang di buka oleh Susno menjadi "tamparan" yang sangat keras bagi Polri. Para petinggi Polri tidak bisa berkilah, karena yang membuka tabir "aib" tersebut adalah salah satu Jenderal aktif yang kebetulan juga mantan Kabareskrim Polri. Jika dugaan ini benar, maka cara yang paling mudah untuk "mempertahankan" diri dan "berkilah" adalah dengan melakukan serangan balik pada Susno melalui "kriminalisasi".

Jika ditilik lebih jauh, memang Susno sangat mudah untuk diserang balik, karena sebelumnya beliau adalah Kabareskrim, kemudian pernah menjadi salah satu tokoh sentral dalam dugaan "kriminalisasi" pimpinan KPK (Bibit-Chandra). Pertanyaannya, siapa sesungguhnya yang memerintahkan Susno untuk menjerat pimpinan KPK dalam kasus penyalahgunaan wewenang atau yang lebih dikenal dengan kasus "Cicak VS Buaya"? Secara institusional, tidak mungkin "Susno" ketika itu bekerja sendiri, apalagi bekerja atas kemauan sendiri. Logikanya, kasus Cicak-Buaya tentulah sebuah tindakan yang dilakukan oleh institusi Polri. Artinya semua pihak yang berwenang dalam tubuh Polri terlibat dan mengetahui kasus ini. Jika mau ditarik lebih jauh, maka para pihak diluar Polri pun pasti juga terlibat, misalnya kekuatan politik yang tidak "senang" dengan keberadaan dan tindakan yang dilakukan oleh KPK selama ini. Atau kelompok lain yang selama ini telah "menggunakan" Polri sebagai salah alat politik dalam Pemilu 2009. Kisah ini, menginggatkan saya pada cerita dunia pewayangan. Dalam dunia pewayangan, Rahwana seorang tokoh yang dijadikan "ikon" kejahatan ketika itu. Sebagai seorang yang "jahat" Rahwana telah melakukan pelbagai bentuk kedurjanaan dalam kehidupan. Kejahatan yang terbesar adalah ketika Rahwana menculik Dewi Sinta untuk dijadikan istrinya. Tentu saja penculikan ini mengundang reaksi dari seantero negeri, dengan dipimpin oleh Dewa Rama (suami Sinta) upaya melawan kejahatan Rahwana dilakukan secara massif. Semua pihak bergabung dengan Rama dengan satu tujuan "lawan" Rahwana. Ketika itu Rahwana juga tidak sendirian, dia dikelilingi oleh orang-orang yang setia padanya dan tentu saja sangat sakti mandraguna. Ketika pertarungan antara kebaikan (Dewa Rama) dan kejahatan (Rahwana) berlangsung, beberapa petinggi dan orang kepercayaan Rahwana berkhianat. Melihat situasi itu, Rahwana kemudian membuka semua kebobrokan kerajaannya pada publik. Ketika itu Rahwana hanya berpikir, minimal sebelum mati, dia bisa berbuat kebajikan. Apakah lakon ini yang sedang berlangsung dalam kasus Susno?? walluhalam.....

Tidak ada komentar: