Senin, 01 Desember 2008

Berantas Korupsi, Benahi Birokrasi

Oleh Mahmuddin Muslim

PadangKini.com; Jumat, 21/11/2008, 20:08 WIB

MENDENGAR kata birokrasi maka istilah ini akan selalu diidentikkan dengan ketidakefesienan. Lumrah saja, karena selama ini birokrasi di Indonesia merupakan alat kekuasaan (Bureaucratic Polity), bahkan sudah menjadi Bureaucratic Authoritarian.

Dimasa lalu, birokrasi digunakan sebagai mesin otoritas dan politik. Hal ini terjadi karena sistem sosiokultural dan sistem pemerintahan yang tidak demokratis sehingga menempatkan birokrasi pada peran tersebut. Akibatnya Birokrasi menjadi tidak efektif dan efesien. Tentu saja kondisi ini mempengaruhi relasi antara negara dan kepentingan warganegara.

Birokrasi sebagai alat kekuasaan terjebak pada pengambilan keputusan secara ekslusif yang dilakukan oleh aparat negara. Biasanya keputusan tersebut hanya mengguntungkan segelintir orang atau kelompok. Terutama yang memiliki akses politik dan ekonomi.

Model seperti ini, kemudian melahirkan hubungan antara aparat negara dengan pelaku bisnis dan politisi berada dalam hubungan patron klien yang personal. Dan hal itu berarti bekerjanya mekanisme eksklusif politik dan ekonomi. Muaranya adalah hilangnya partisipasi, keadilan dan ruang publik untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan tersebut. Jika sudah demikian, maka transparansi dan akuntabilitas pemerintahan tidak ada. Alhasil, korupsi terjadi secara besar-besaran di berbagai sektor.

Komitmen Pemerintahan SBY-Kalla untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama, kiranya perlu mendapat acungan jempol dan apresiasi positif. Langkah ke arah itu telah dimulai. Misalnya pembentukan Satgas Pemberantasan Korupsi yang dikomandoi oleh Jampidsus Hendarman.

Walaupun satgas ini belum memperlihatkan hasil kerja yang maksimal, tetapi satgas ini telah membangkitkan harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. Apalagi pemberantasan korupsi juga dilakukan oleh KPK yang semakin hari peformance dan kinerjanya makin dipercaya.

Dalam beberapa kesempatan SBY maupun Jaksa Agung sering mengungkapkan betapa sulitnya memberantas korupsi yang sudah mengakar dalam tubuh pemerintahan. Kita juga memaklumi hal ini, karena memberantas korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tentu saja para koruptor atau kelompok yang selama ini menikmati sistem yang korup akan melakukan resistensi.

Jika melihat "kekuatan" para koruptor ini sudah barang tentu kita harus melihat seperti apa sistem dan budaya birokrasi kita. Karena bagaimanapun juga kita harus jujur melihat bahwa korupsi terjadi tidak berdiri sendiri pada satu kaki saja, tetapi korupsi terjadi karena adanya persekongkolan jahat yang dilakukan oleh politisi, pebisnis, partai politik, tentara dan birokrasi.

Idealnya, birokrasi adalah sebuah institusi netral. Kewenangan-kewenangan yang melekat padanya bisa digunakan untuk maksud baik atau buruk Dalam prakteknya, penyalahgunaan wewenang dalam lingkungan birokrasi selalu ada. Dan korupsi adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan birokrasi.

Tindakan korupsi dari para birokrat pada tingkat awal merupakan gambaran tentang ketiadaan integritas mereka sebagai abdi negara dan abdi rakyat. Pada tingkat kedua ia merupakan pelecehan terhadap etika dan hukum yang berlaku. Akibat paling ringan dari korupsi adalah terganggunya proses administrasi dan yang paling berat adalah bubarnya negara.

Terjadinya korupsi yang luas dalam lingkungan pemerintahan bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri. Paling tidak, keadaan itu mengimplikasikan tidak sehatnya administrasi pemerintahan, lemahnya pengawasan politik terhadap penyelenggaraan kekuasaan pemeribntahan, tidak efektifnya penegakan hukum, tiadanya integritas aparatur dan rendahnya moralitas mereka.

Korupsi di kalangan birokrat tentu akan menghancurkan wibawa pemerintah dari dalam dan menghilangkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Dalam situasi dimana kepercayaan rakyat sudah tidak ada lagi, maka efektivitas pemerintahan pun akan goyah, kalaulah tidak hancur. Oleh karena itu, pembenahan birokrasi harus menjadi pilihan untuk mengurangi dan memberantas korupsi. Artinya, betapapun sulitnya, pemerintah harus mengambil langkah ini demi kelangsungan hidup pemerintahan dan keselamatan negara.

Pembenahan birokrasi bisa dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, melakukan evaluasi secara jujur terhadap efektifitas dan efesiensi birokrasi selama ini. Langkah ini berkaitan erat dengan jumlah personil (birokrat), wilayah kerja, sektor pelayanan yang ditangani serta output yang dihasilkan selama ini.

Hasil evaluasi ini bisa dijadikan acuan menyusun sistem manajemen birokrasi. Langkah evaluasi ini harus melibatkan tim indenpenden yang memiliki kapasitas dan keahlian serta profesional dalam melakukan evaluasi.

Tim ini dalam melaksanakan tugas akan berkoordinasi dengan Sekretariat Negara dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN). Keanggotaannya bisa saja wakil pemerintah dan civil society. Tetapi yang terpenting adalah mereka melakukan evaluasi secara netral dan jujur tidak terpengaruh oleh kelompok kepentingan apapun di luar kepentingan pembenahan birokrasi.

Kedua, menyusun formulasi sistem manajemen birokrasi. Harus disadari bahwa birokrasi lahir dan dibentuk karena kebutuhan masyarakat untuk dilayani. Artinya birokrasi yang lahir karena kebutuhan masyarakat (rational bereaucratic) ini ditekankan bahwa masyarakatlah yang menentukan bukan hanya keberadaan dari birokrasi itu sendiri, namun juga termasuk corak birokrasi yang dikehendaki. Dengan demikian, dalam menyusun sistem manajemen birokrasi perlu keterlibatan publik secara luas.

Keikutsertaan publik secara luas ini diharapkan akan memudahkan menyusun apa saja yang penting dan utama dalam memberikan pelayanan. Tentu, partisipasi harus berbanding lurus dengan efektifitas karena pemerintahan harus terus bekerja dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam membangun sistem manajemen birokrasi ini harus selalu berorientasi pada penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan akan mendorong berfungsinya peran dan kinerja yang baik dari birokrasi. Penguatan yang dimaksud meliputi struktur dan mekanisme kerja yang efektif dengan dukungan sumber daya yang memadai termasuk sarana dan prasarana.

Ketiga, mengefektifkan sumber daya manusia (birokrat). Langkah ini akan berkaitan erat dengan: (1) Optimalisasi jejaring kerja, birokrasi memiliki skala kerja yang sangat luas karena menyangkut pelayanan secara nasional. Untuk itu perlu melakukan evaluasi terhadap kantor-kantor perwakilan didaerah serta membangun model komunikasi dan koordinasi yang memudahkan melakukan kontrol dan deteksi terhadap penyimpangan;

(2) Pemanfaatan personil terbaik dan multidisiplin. Pada tingkat operasional, kinerja birokrasi harus didukung oleh profesional dari berbagai latar belakang disiplin ilmu pengetahuan. Hal ini diperlukan mengingat tugas birokrasi menyangkut berbagai hal yang cukup kompleks.

(3) Menerapkan merit based system, birokrasi sebagai organisasi tentulah harus mencapai hasil yang terbaik. Untuk mencapai hal tersebut, organisasi bisa menerapkan reward and punisment system sesuai dengan tugas, keahlian, profesionalisme masing-masing personil. Selain itu tentu saja kejelasan jenjang karier perlu mendapat perhatian, sehingga dapat memacu dan memberikan rasa aman bagi semua personil.

(4) Membangun budaya kerja yang kondusif, birokrasi yang memiliki peran besar dan strategis harus sejak awal membangun budaya yang kondusif. Budaya kerja yang dimaksud meliputi: semangat kerja yang tinggi, disiplin, kejujuran, kompetensi, kompetisi yang sehat dan seterusnya. Yang terpenting dalam membangun budaya kerja yang kondusif adalah mengefektifkan kepemimpinan dengan mengutamakan keteladanan.

Keempat, proses rekrutmen yang transparan. Proses rekrutmen harus dirancang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan adanya birokrasi. Sistem rekrutmen harus memberikan peluang yang sama bagi semua orang untuk ikut terlibat untuk mengisi kekosongan di birokrasi. Ada beberapa prinsip yang mestinya menjadi prinsip dalam rekrutmen calon birokrat yaitu:

(1) Transparan, yaitu kriteria dan proses seleksi yang jelas dan terbuka. Transparan yang dimaksudkan dalam proses ini adalah mengenai metode dan teknik, kriteria, proses pengambilan data calon, proses analisa dan integrasinya dari alat ukur yang digunakan.

(2) Akuntabel, yaitu menggunakan metode dan teknik seleksi yang bias dipertanggungjawabkan. Akuntabilitas di sini bisa dilihat dari pemilihan alat ukur yang dapat secara tepat mengukur atau memberikan data sesuai dengan criteria atau kompetensi yang dibutuhkan. Selain itu proses pencatatan dan pengolahan data calon harus bisa meminimalisir subjektivitas.

(3) Adil, yaitu semua calon melewati proses yang sama. Rasa keadilan dalam proses seleksi memiliki korelasi yang sangat tinggi terhadap terjamin dan terjaganya harga diri dan rasa aman si calon.

Dengan melakukan pembenahan pada birokrasi ini, diharapkan akan semakin menaikkan citra pemerintah di mata publik. Karena pembenahan ini akan memberikan impact pada kinerja dan efesiensi serta birokrasi yang profesional. Tentu ini bisa mengurangi kecurangan (korupsi) dalam pemerintahan. Selain itu, pembenahan ini merupakan investasi politik bagi SBY untuk masa yang akan datang.

)* Mahmuddin Muslim peneliti masalah transparansi pengelolaan dana publik, putra Pariaman, berdomisili di Bintaro, Banten, kini juga Caleg DPRD Sumbar dari PDI-Perjuangan Daerah Pemilihan Sumatera Barat IV.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

apa bisa republik ini membenahi birokrasi yang sangat akut?. APalagi presidennya yang kemayu dan plin-plan... nggak yakin deh...berharap pada Presiden SBY? Cuapekkkk deh...