Senin, 15 September 2008

Menanti APBD berbasis Partisipasi Masyarakat



Seiring dengan dengan terbitnya paket Undang-undang Keuangan Negara, maka ada beberapa hal yang menjadi perbedaan dengan Undang-undang sebelumnya. Perbedaan tersebut antara laian:

1. Mengatur kewenangan para pejabat perebendaharaan sesuai dengan tanggung jawab yang seharusnya dimiliki oleh masing-masing

2. Mnedorong pelaksanaan pengelolaan anggaran menjadi lebih transparan

3. Mendorong Akuntabilitas pengelolaan anggaran sesuai standar yang diharapakn

4. Mengacu pada manual GFS yang diterbitkan oleh IMF2

Dengan demikian, dalam Undang-undang keuangan negara secara tegas memisahkan antara kewenangan administratif dan kewenangan kompatibel/perbendaharaan. Artinya secara administratif yaitu kewenangan untuk mengambil keputusan yang dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran negara yang telah tersedia dananya dalam (APBN/APBD) berada ditangan pimpinan Departemen/Lembaga teknis selaku pejabat Pengguna Anggaran. Sedangkan kewenangan kompatibel/perbendaharaan untuk memutuskan apakah pengeluaran tersebut dapat atau tidak dapat dibayarkan, berada di tangan Menteri Keuangan selaku Bendahara umum Negara.

Model atau sistem ini tentu mengandung artinya menjamin terselenggaranya mekanisme chek and balance sesuai dengan pratek yang sehat (sound-practice) dalam pengelolaan keuangan negara secara universal. Dalam model atau sistem ini, partisipasi masyarakat diperlukan agar tercapainya tujuan universal tersebut.

Dalam Undang-undang Keuangan Negara secara tegas dinyatakan perlunya partisipasi masyarakat dalam menyusun setiap tahap pengelolaan Keuangan Negara. Lihat saja, masyarakat wajib dilibatkan dari penyusunan perencanaan Nasional/Daerah. Undang-undang ini mengatur dalam menyusun perencanaan strategis Nasional/daerah oleh Dewan Perencanaan Nasional/Daerah beranggotakan unsure-unsur Pemerintah dan masyarakat..

Ada beberapa hal yang harus dijalankan untuk memenuhi prinsip legalitas, efesiensi, kehematan, efektivitas, manfaat, transparansi, akuntabilitas, keadilan dan kepatutan, otorisasi parlemen dan universalitas yaitu;

1. Keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan Perundang-undangan, efesien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan dan kepatutan

2. Anggaran negara/daerah, Perubahan anggaran dan perhitungan Anggaran ditetapkan dengan Perundang-undangan

3. Anggaran mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, Alokasi, distribusi dan stabilisasi

4. Semua penerimaan dan pengeluaran negara/daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukan dalam Anggaran Negara/Daerah

5. Penerimaan Negara yang tidak habis digunakan dalam tahun anggaran yang bersangkutan, dapat dipergunakan untuk membiayai Anggaran Belanja tahun berikutnya

6. Penggunaan surplus penerimaan Negara harus melalui persetujuan Lembaga Legislatif

Untuk mengupayakan keselarasan pengelolaan keuangan Negara, pengelolaan keuangan daerah mutatis mutandis dengan prinsip yang berlaku dalam pengelolaan keuangan Negara.

Kepentingan Rakyat sebagai Basis APBD

Dalam pengelolaan keuangan Negara, maka sudah sepatutnya rakyat mendapatkan porsi utama dalam penyusunan Anggaran Negara baik APBN maupun APBD. Mengapa rakyat perlu mendapatkan perhatian khusus dan porsi utama dalam penyusunan APBN/APBD?. Ada beberapa alasan rakyat berhak terlibat dan mendapatkan porsi alokasi anggaran yang rasional dan proposional dari APBD yaitu;

1. Rakyat merupakan penyumbang utama sunber penerimaan dalam APBD melalui pajak dan Retribusi, bahkan sumber penerimaan yang berasal dari hutang pun, kebutuhan rakyat jualah yang dipresentasikan pada pihak ketiga

2. Sesuai hakekat dan fungsi Anggaran, rakyat merupakan tujuan utama yang akan disejahterakan

3. Amanah Konstitusi pasal 23 UUD, dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa rakyat berhak untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan Anggaran. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Keuangan Negarta dan Kepmendagri

Implementasi hak rakyat dalam APBD bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Pemerintah daerah sebagai pemegang kuasa pengelolaan Keuangan Negara/daerah harus mengimplementasikan hak rakyat tersebut melalui:

1. adanya keterlibatan rakyat secara partisipatif dalam proses penganggaran. Teknis pelaksanaannya bisa menggunakan beberapa model atau melakukan kreasi dari berbagai model yang telah dikembangkan oleh banyak negara. Tentu saja, kreatifitas ini perlu didukung oleh iklim demokrasi yang substantif liberatif. Selama ini, partisipasi hanya menjadi jargon pemerintah, metode dan implementasi partisipasi hanya berjalan dalam lingkungan masyarakat yang “dekat“ dengan Pemerintah. Sementara, dengan kelompok masyarakat yang kritis dan “jauh“ dengan Pemerintah, dijadikan formalitas belaka dan masukan serta hasil kajian mereka selalu dikesampingkan. Memang, partisipasi tidak dapat dilakukan pada orang perorang atau semua kelompok, karena keterbatasan pemerintah. Tetapi, semestinya pemerintah harus memiliki sebuah kriteria yang jelas dalam pelibatan publik. Kriteria ini harus didukung oleh metodelogi yang tepat sehingga tidak terjebak pada inefesiensi. Metodelogi mengalang partisipasi ini, yang tidak dimiliki oleh pemerintah. Mereka hanya mengikuti secara tektual apa yang tertulis di UU, Kepmendagri. Sangatlah naif, mengharapkan hasil yang efektif jika partisipasi dibangun melalui RT, RW, Dewan Kelurahan, dan Badan Perwakilan Desa. Karena hampir seluruh badan tersebut dipilih dengan intervensi pemerintah. Sehingga, badan-badan tersebut tidak bisa merumuskan kebutuhan warganya. Perlu kearifan menyusun metodelogi agar partisipasi masyarakat bisa efektif untuk kepentingan bersama.

2. Adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan maupun pertanggungjawaban APBD pada Rakyat. Selama ini, mekanisme pertanggungjawaban dilakukan melalui saluran formal Lembaga Legislatif (DPRD). Jika ingin membangun transparansi maka harus dimulai dari para pihak yang akan terlibat dari proses tersebut. Dengan tidak mengkerdilkan peran DPRD dalam proses transparansi dan Akuntabilitas APBD, tetapi Lembaga ini juga menjadi sorotan dalam transparansi dan Akuntabilitas. Bagaimana bisa berharap pada DPRD, yang dalam banyak kasus korupsi APBD mereka juga terlibat bahkan terkadang menjadi inisiator. Perlu kiranya Pemerintah merancang sebuah model transparansi dan akuntabilitas APBD selain melalui saluran formal (DPRD) bisa dilakukan melalui saluran informal langsung pada masyarakat. Tentu, model ini harus dikaji dan dipertimbangkan dengan matang sehingga bisa efektif dan sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.

3. Adanya Hak untuk alokasi anggaran yang pro Rakyat miskin. Keadilan dan kesejahteraan adalah tujuan utama dari sebuah negara kesejahteraan. Indonesia telah mengproklamirkan diri sebagai negara kesejahteraan. Artinya keberpihakan pada kaum lemah dan miskin menjadi prioritas dalam pembangunan yang dilakukan. Namun sayangnya, doktrin tersebut belum berwujud, masih sebagatas angan-angan. Memang, banyak kendala untuk memuwujudkan tujuan tersebut, perlu didukung oleh infrastruktur dan suprastruktur yang memadai. Tetapi, langkah menuju kearah tujuan tersebut, sampai sekarang tampaknya masih jauh dari harapan. Lihat saja, Anggaran Negara (APBN/APBN), masih lebih besar mensubsidi kepenting kelompok pengusaha. Subsisdi BBm dicabut, dialihkan pada subsidi langsung atau bentuk lain seperti Pendidikan dan Kesehatan. Tetapi saat yang sama, pemerintah memberikan subsisdi dana rerkap Perbankan yang sangat fantastis, itu saja belum cukup, masih ada subsidi dalam bentuk lain, misalnya menaikkan suku Bank Indonesia, tax holiday, penjaminan Reksadana dll. Sungguh, ini luar biasa dibandingkan dengan subsidi untuk rakyat miskin yang selama ini dikampanyekan oleh Pemerintahan SBY

4. Adanya pengawasan APBN/D oleh rakyat baik secara perseorangan maupun secara Lembaga atau kelompok. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat ini semestinya mendapat apresiasi positif dari pemerintah. Caranya adalah memberikan akses seluas-luasnya pada masyarakat untuk mendapatkan informasi, data dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan APBN/D.

Tidak ada komentar: