Rabu, 14 Mei 2008

Pemilihan Kepala Daerah - Arogansi Elit

Pemilihan Kepala Daerah - Arogansi Elit
Oleh: Mahmuddin Muslim
Berpolitik.com - Rabu, 17 September 03

Kita telah menyaksikan pertunjukan dramatis pemilihan Gubernur Bali dan beberapa daerah. Pro dan kontra mewarnai proses sebelum maupun pasca pemilihan dengan berbagai atribut atas nama rakyat, demokrasi dan mungkin masih banyak lagi atribut yang dikedepankan. Hasilnya, sekali lagi “keadilan” belum berpihak pada masyarakat, dia masih menjadi milik elit yang memiliki kekuasaan dan uang. Rasionalitas demokrasi dalam proses pemilihan itu dipermainkan sedemikian rupa sehingga atas nama prosedur demokrasi pemilihan itu dianggap dan bahkan dipaksakan untuk memenuhi asas-asas transparansi, akuntabilitas dan sesuai dengan tata tertib.

Pemilihan Gubernur Jakarta, Sumsel, Jawa tengah, Bali dan daerah lainnya, yang gaungnya menasional mempetontonkan proses politik yang tidak mempunyai “moral demokrasi.” Isu tawar menawar politik dan money politic kental mewarnai proses pemilihan Gubernur. Protes dari masyarakat luas dan Civil Society Organization tidak didengar oleh anggota DPRD Terhormat. Anggota DPRD sebagai representasi suara masyarakat sibuk dengan hitungan rekening pribadi dan penyelamatan kursi Dewan. Hasilnya, masyarakat luas dirugikan dengan permainan politik yang terjadi. Gubernur terpilih tanpa publics acceptabilities. Lalu dimanakah legitimasi Pejabat Publik tanpa publics acceptabilities?. Apakah Pejabat Publik yang demikian yang seharusnya ada di era reformasi sekarang ini? Proses pemilihan Gubernur Jakarta, Sumsel, Jawa tengah dan Bali, sekali lagi telah memberikan contoh yang buruk bagi proses politik di Indonesia. Formalitas Demokrasi yang dilakukan anggota DPRD telah menghilangkan substansi dari proses politik pemilihan Pejabat Publik dan juga publics acceptabilities. Masihkah kita akan tetap mempertahankan Formalitas Demokrasi yang ada sekarang ini ataukah kita harus mengubahnya demi Indonesia yang lebih baik?
Belajar dari kasus Pemilihan Gubernur Bali dan beberapa daerah yang berlangsung beberapa waktu lalu, ada beberapa hal yang patut dicatat :
1. Sistem Kepartaian
Dalam sistem politik kita saat ini, wakil rakyat yang duduk di legislatif dipilih berdasarkan mekanisme pemilihan partai. Dengan demikian wakil-wakil rakyat lebih bertanggungjawab kepada partai/pimpinan partai daripada kepada konstituen. Kasus Pemilihan Gubernur Bali beberapa waktu lalu terasa sekali betapa kuatnya pengaruh Partai, terutama partai besar dalam menentukan calon Gubernur. Bahkan fraksi di DPRD yang seharusnya lebih mengetahui kondisi daerah dan siapa yang harus memimpin daerah, harus kalah dengan kebijaksanaan partai di tingkat pusat.

2. Masalah Akuntabilitas Publik
Konsekwensi dari pemilihan wakil melalui mekanisme pemilihan partai adalah lemahnya pertanggungjawaban publik pada setiap keputusan politik.. Hal ini karena pertanggungjawaban wakil rakyat tertuju kepada Partai dari pada konstituen. Anggota DPRD Bali sebagai panitia pemilihan maupun pemilih lebih takut dengan sanksi partai dibandingkan dengan pertanggungjawabannya di muka publik, karena mereka tidak merasa sebagai milik publik tetapi nasib mereka lebih banyak ditentukan oleh partai.

3. Sistem Pemilihan Pejabat Publik
Sistem pemilihan Pejabat Publik tidak langsung cenderung akan mendistorsi proses rekrutmen pemimpin publik yang baik, selain juga menjauhkan pemimpin dari konstituennya. Deal politik yang terjadi antara pemimpin partai dan calon Gubernur lebih dapat menentukan seorang calon untuk memenangkan pemilihan. Selain itu juga ditunjang adanya money politic yang akan dapat merubah pilihan seorang anggota DPRD terhadap calonnya. Akhirnya dengan mekanisme rekrutmen Pejabat Publik yang ada sekarang ini, kalau harapannya mendapatkan pemimpin yang kompeten, mempunyai integritas, jujur, dan adil ibaratnya “jauh panggang dari api.” Mungkin pemilihan langsung kepala daerah adalah alternatif untuk mengeleminasi politik uang dan arogansi elit dan pusat.

4. Code of Conduct Pejabat Publik
Belum adanya standar Code of Conduct dalam pemilihan Pejabat Publik di Indonesia menyebabkan rekrutmen pemimpin di Indonesia belum terarah. Tarik menarik politik dan kepentingan lebih mewarnai dibandingkan dengan tujuan untuk mendapatkan pemimpin yang kompeten, mempunyai integritas, jujur dan adil. Tata tertib pemilihan Gubernur dipermainkan oleh anggota DPRD maupun Panitia Pemilihan untuk melegitimasi proses pengegolan calon yang sudah melakukan deal dengan mereka. Dengan tata tertib seluruh proses pemilihan Gubernur direkayasa sesuai dengan deal politik yang sudah disepakati antara panitia pemilihan, pemilih, dan yang dipilih. Oleh karena itu tata tertib yang sifatnya relatif di setiap tempat, kesempatan dan waktu tidak bisa lagi dijadikan acuan pemilihan Pejabat Publik. Untuk itu, diperlukan Code of Condact yang sifatnya baku dan permanen untuk mendapatkan pemimpin yang betul-betul mewakili aspirasi masyarakat dan membawa kepentingan masyarakat.

Keempat hal tersebut diatas merupakan sedikit jawaban yang diharapkan bisa memberikan jalan keluar bagi proses pemilihan Pejabat Publik dikemudian hari.

Mahmuddin Muslim
·Peneliti Pada Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)

Tidak ada komentar: