Rabu, 14 Mei 2008

Pilkada; Formalitas Politik atau Alat demokrasi?

Sejak beberapa tahun terakhir, dipelbagai daerah telah melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Pemilihan langsung Gubernur atau Walikota/Bupati yang telah dilaksanakan selalu saja menuai kritik dan perdebatan oleh berbagai kalangan. Lumrah saja, karena masih banyak kelemahan dalam Undang-undang yang memberi peluang terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada, sehingga tak heran banyak konsestan yang kalah merasa tidak puas.

Terlepas dari kelemahan yang ada dalam undang-undang Pilkada, harus diakui bahwa sebagai salah satu prosedur demokrasi, pelaksanaan Pilkada selain bisa menghasilkan pemimpin yang berwibawa tetapi juga berpeluang menciptakan kekerasan politik. Pelaku kekerasan ini bisa dilakukan oleh struktur negara atau masyarakat. Kekerasan politik yang dilakukan oleh negara bisa dikategorikan dalam state violence. Dalam kategori ini, negara secara institusional, melakukan tindak kekerasan. Pelakunya mulai dari birokrasi, militer, pengadilan, KPU, Panwas atau pelaku lain yang bukan berasal dari birokrasi tetapi “digunakan“ oleh negara.

Kekerasan ini yang oleh Althusser, dianggap sebagai repressive state appraratus yaitu tindakan pemerintah, militer, polisi, pengadilan dan sebagainya dalam bentuk kekerasan struktural. Menurut Galtung, kekerasan struktural adalah segala sesuatu yang menyebabkan masyarakat terhalang mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Dalam kontek state violence, penghalang tersebut dibuat oleh struktur negara (KPUD, Militer, polisi, Mendagri, Panwas dan Pengadilan Tinggi). Kondisi ini bisa diteliti mulai dari aturan main (undang-undang), netralitas birokrasi, peluang yang sama untuk berkompetisi dan perhitungan suara yang jujur.

Sementara kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat (mass violence atau societal violence) biasanya berbentuk horizontal. Pelakunya biasanya adalah sesama pendukung kontestan. Kekerasan ini biasanya bisa diselesaikan dengan mekanisme lokal yang disepakati antar pemimpin atau calon yang didukung. Selain itu, kekerasan ini bisa diselesaikan melalui mekanisme peradilan pidana terhadap pelanggaran dan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat. Para pelaku bisa dijerat pasal-pasal tindak pidana. Sudah barang tentu jika terbukti bersalah, maka pengadilan bisa menjatuhkan vonis kepada pelaku.

Sumatera Barat telah melakukan beberapa Pilkada, baik pemilihan langsung Gubernur maupun Bupati/walikota. Mencermati pelaksanaan Pilkada yang telah dan yang akan berlangsung, kritikan dan protes selalu saja mengiringi pelaksanan dan hasil Pilkada tersebut. Ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu; pilkada sebagai formalitas politik atau pilkada sebagai alat demokrasi. Tentu Pilkada yang telah dan akan dilaksanakan di Sumatera masuk kategori yang mana, pilihannya ada pada kita untuk menjawabnya, terutama pihak yang terlibat dalam Pilkada (kontestan, KPUD, Panwasda, Mendagri dan Pengadilan). Jika, pilkada hanya sebagai formalitas politik belaka, maka pilkada hanya dijadikan alat untuk melegalisasi pemerintahan (gubernur/walikota/bupati) yang tidak demokratis.

Dalam kategori ini, Gubernur/walikota/bupati terpilih lebih merupakan hasil rekayasa birokrasi dan uang. Sehingga apa yang dikatakan oleh Marxisme dengan teori alienasi akan terjadi. Teori ini menjelaskan bagaimana masyarakat merasa terasing oleh keadaan sesungguhnya yang menimpa dirinya. Jika alienasi yang terjadi, tentu saja akan menjauhkan pemerintahan (Gubernur/Walikota/Bupati) terpilih dari warganya. Alhasil, pemerintahan yang terpilih berpeluang menciptakan penyimpangan. Dengan sendirinya, akuntabilitas, transparansi serta partisipasi masyarakat akan hilang dalam pengelolaan pemerintahan. Korupsi, kolusi dan nepotisme dengan sendirinya terjadi dan meluas disekujur tubuh pemerintahan tanpa ada yang bisa mengawasi dan melakukan kontrol.

Jika ini yang terjadi, maka kita akan kembali mundur ke masa yang lalu, dimana semua kebijakan dirumuskan dan ditetapkan secara ekslusif oleh birokrasi. Dapat dipastikan, kebijakan tersebut berpihak pada sekelompok orang (politisi dan bisnis) yang memiliki akses pada pemerintahan terpilih. Maka mekanisme ekslusif politik dan ekonomi berulang kembali, yang muaranya adalah hubungan patron client personal antara Gubernur/walikota/bupati dengan politisi dan pebisnis.

Sebaliknya, jika pilkada sebagai alat demokrasi, maka pilkada akan dijalankan secara jujur, bersih, bebas, kompetitif dan adil. Gubernur/walikota/bupati (in-cumbent) yang memfasilitasi pelaksanaan Pilkada melalui KPUD, bisa saja malah menumbangkan kekuasaannya sendiri karena kalah dalam Pilkada tersebut. Misalnya seorang walikota yang mengikuti pilkada, bisa saja kalah oleh kontestan pendatang baru karena rakyat memilihnya. Seharusnya walikota tersebut menunjukkan kebesaran jiwa dan ketauladanan dengan memberikan dukungan kepada pemenang. Jika ada sengketa hasil pilkada, maka Pengadilan tinggi sebagai lembaga pemutus perkara haruslah bersikap netral, adil dan sesuai dengan bukti dan fakta yang ada.

Sehingga pihak yang bersengketa, bisa dengan lapang dada menerima hasil keputusan pengadilan tersebut. Di beberapa daerah, hasil Pilkada banyak yang digugat melalui pengadilan tinggi. Ada yang materi gugatannya ditolak oleh Pengadilan Tinggi tetapi ada juga yang diterima. Kasus sengketa Pilkada Depok, Maluku Utara dan Sulawesi Selatan bisa dijadikan contoh untuk tidak diulangi dalam Pilkada yang akan dilaksanakan di beberapa kota/kabupaten di Sumatera Barat. Sengketa pilkada yang diselesaikan melalui Pengadilan tinggi ternyata tidak bisa menyelesaikan sengketa tersebut. Mestinya Pengadilan sebagai aparatus negara harus secara jujur dan adil memutus perkara sengkata Pilkada ini.

Semua pihak yang bersengketa harus diberikan porsi yang sama dalam menyampaikan argumen, data, bukti dan fakta sesungguhnya. Tentu, data, bukti, fakta dan argumentasi yang disampaikan harus diuji validitasnya oleh hakim. Disinilah netralitas Pengadilan sebagai salah satu unsur negara dipertaruhkan. Jika tidak bisa berlaku netral, maka keputusan Pengadilan tersebut bisa mencoreng kualitas demokrasi suatu sistem politik. Pertimbangan dan keputusan yang salah dari pengadilan akan menjadi catatan kekerasan Negara (state Violence) dalam Pilkada. Selain itu, KPUD sebagai pelaksana Pilkada juga banyak mendapat sorotan. Masalah yang disorot adalah penetapan calon yang lolos ikut berkompetisi, penetapan jumlah pemilih (banyaknya pemilih yang tidak terdaftar), distribusi kertas suara, pelaksanaan pemungutan suara dan penetapan pemenang pilkada.

Agar pilkada yang akan dilaksanakan (Kota Pariaman, Padang Panjang, Padang dll) tidak terjebak pada formalitas politik belaka, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu Pertama, adanya pengakuan yang sama terhadap hak pemilih dan dipilih. Dalam beberapa kasus sengketa pilkada, jumlah pemilih dan pemilih yang sah selalu menjadi sengketa. Untuk menghindari hal tersebut, maka KPUD harus secara serius dan teliti dalam melakukan pendataan pemilih. Sikap hati-hati dan teliti akan menghindari terjadinya pemilih ganda, pemilih dari daerah lain atau pemilih yang kehilangan hak suara. Selain itu, dalam menentukan calon kontestan yang berhak mengikuti Pilkada sudah barang tentu harus dilandasi oleh sikap jujur, adil dan netral.

Sehingga calon yang lolos atau tidak lolos, ditentukan dengan melakukan penelitian yang sungguh-sungguh, mulai dari ijazah pendidikan formal, dukungan partai, domisili dan sebagainya. Kedua, ada keleluasaan bagi kontestan berkompetisi secara sehat. Syarat ini bisa dipenuhi jika aparat negara (KPUD, Birokrasi, Militer, Polisi dan Pengadilan) bersikap netral. Dalam kompetisi pilkada, aparatus seharusnya hanya menjadi fasilitator, sekaligus sebagai wasit yang adil. Tidak ada perlakuan istimewa bagi kontestan manapun. Semua diperlakukan sama sesuai perundang-undangan, tanpa melihat latar belakang lingkungan, pendidikan, agama, kesukuan dan partai politik yang mencalonkan. Selain itu, aparatus negara harus berlaku tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kontestan.

Sekecil apapun pelanggaran harus diberikan tindakan hukum, apalagi pelanggaran yang besar seperti pemalsuan ijazah atau politik uang. Ketiga, Ada kebebasan pemilih dalam mendiskusikan dan menentukan pilihan. Hanya kontestan yang memiliki visi dan misi serta program kerja yang sesuai dengan keinginan masyarakat pemilih yang akan mendapat dukungan suara. Oleh karena, itu pendidikan kritis bagi masyarakat penting dilakukan oleh negara. Jika tidak, maka pemilih akan terjebak pada janji-janji dan pepesan kosong jargon politik kontestan. Apalagi, jika kekuatan uang digunakan oleh kontestan untuk membeli suara tersebut.

Keempat, indenpendensi KPUD sebagai pelaksana Pilkada. Indenpendensi ini bisa dibangun jika anggota KPUD beserta jajarannya dalam menjalankan tugas dan fungsi bersikap jujur, netral, bersih, profesional dan adil. Meraka harus bisa melepaskan semua kepentingannya kecuali kepentingan untuk melaksanakan pilkada secara jujur, bersih, kompetitif dan adil. Sehingga pilkada bisa menjadi sebuah proses demokrasi yang beradab dan beretika. Kelima, Lembaga Peradilan yang profesional. Sebagai lembaga yang memutuskan perkara sengketa politik, maka peradilan harus bisa memberikan peluang yang sama bagi kontestan yang bersengketa.

Mulai dari penyampaian argumentasi, data, bukti dan fakta serta saksi semua pihak yang bersengkata diberi kesempatan yang sama. Netralitas ini penting karena lembaga ini sangat menentukan hasil pilkada yang bersengketa. Apalagi putusan Pengadilan bersifat final, kecuali ada bukti baru untuk dilakukan peninjauan kembali oleh Makamah Agung. Dalam memutuskan perkara pilkada hakim harus rasional, sesuai bukti dan fakta yang ada dan harus bisa memenuhi rasa keadilan. Dengan demikian sengketa pilkada bisa diselesaikan dengan beradab dan dapat diterima oleh semua pihak.

Jika beberapa pilkada yang akan dilaksanakan di Sumatera Barat bisa menjadi alat demokrasi, maka pilkada bisa dijadikan alat ukur yang valid untuk menentukan kualitas sistem demokrasi kita. Selain itu dengan pelaksanaan pilkada yang demokratis, tentunya diharapkan akan mendorong terbentuknya democratic local governance. Dengan demikian, ruang partisipasi akan terbuka, pemerintah daerah akan mudah ”dijangkau“ oleh warga, pembangunan yang adil, transparansi dan akuntabilitas pemerintah tinggi serta penyakit korupsi bisa dieliminir. Tetapi jika Pilkada hanya sebagai formalitas politik belaka, maka apa yang dikatakan oleh Helder Camara dalam the spiral of violence mungkin akan berulang di Indonesia. Wallahu’alam (***)

Mahmuddin Muslim, Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia

3 komentar:

Just Call Me Cino mengatakan...

Iya, bagusss...

Anonim mengatakan...

[URL=http://www.wallpaperhungama.in/details.php?image_id=13415][IMG]http://www.wallpaperhungama.in/data/thumbnails/117/Minissha Lamba-91.jpg[/IMG][/URL]

[URL=http://www.wallpaperhungama.in/details.php?image_id=13240][IMG]http://www.wallpaperhungama.in/data/thumbnails/117/Minissha Lamba-90.jpg[/IMG][/URL]

[URL=http://www.wallpaperhungama.in/details.php?image_id=13236][IMG]http://www.wallpaperhungama.in/data/thumbnails/117/Minissha Lamba-87.jpg[/IMG][/URL]

[URL=http://www.wallpaperhungama.in/details.php?image_id=13234][IMG]http://www.wallpaperhungama.in/data/thumbnails/117/Minissha Lamba-85.jpg[/IMG][/URL]


[url=http://www.wallpaperhungama.in/cat-Minissha-Lamba-117.htm][b]Minissha Lamba Hot Wallpapers[/b][/url]

Photo gallery at WallpaperHungama.in is dedicated to Minissha Lamba Pictures. Click on the thumbnails on enlarged Minissha Lamba pictures, exclusive photographs and exclusive photos. Also check exposed other Pictures Gallery representing Squeaky distinction and Momentous Decision portrait scans, talking picture captures, moving picture promos, wallpapers, hollywood & bollywood pictures, photos of actresses and celebrities

Anonim mengatakan...

Whats up all, I just registered on this great community forum and wished to say hi there! Have a memorable day!